Jumat, 04 Juli 2014

Model: Acang Udin dan Ahyes A. Pramastika
Fotografer: Fitri Nofianti

Aku jadi teringat akan status yang  kuposting di facebook beberapa tahun lalu.

Seandainya Tuhan menganugrahkan manusia sebuah kemampuan untuk dapat saling mengetahui perasaan yang tersenbunyi dan abstrak itu, maka tidak akan ada lagi kebohongan, saling curiga, saling menuduh, atau bahkan mungkin korupsi pun akan tidak ada di muka bumi ini. Selain itu, ketika manusia sudah dapat saling mengetahui isi hati masing-masing, itu artinya mereka sudah dapat menangkap setiap maksud dan makna yang keluar dari mulutnya. Sehingga tidak ada lagi pertanyaan, "Maksudmu apa berbicara seperti itu?" dan semacamnya. Kesalahfahaman dan perselisihan, mungkin tidak akan ada. Tanpa harus menjelaskan panjang lebar, mereka sudah mengetahui semua maksud dan makna.

Selasa, 20 Mei 2014

Langitku dipenuhi biola ketika jalan-jalan bersamanya. Satu langkah kaki, itu arinya semakin jauh kami saling meneyelami ruang-ruang hati terdalam.

Dengar ! Bunyi biola semakin merdu, sayang.....

Tunggu ! Mau kau ajak ke manakah aku? Atau, maukah kau ku ajak ke tempak yang ingin ku tuju? Ah..ternyata tujuan kita sama. Horeeeeee....... Ayo kita kejar matahari ! Biarkan biola dan suaranya menari-nari menghiasi langit kita.

*****
"Kamu capek, sayang? Sini, biar kugendong"
"Sayang, kalo kamu capek menggendongku, kita istirahat bareng-bareng ya?"
"Iya, sayang. Setelah capeknya hilang, kita lanjutkan perjalanan kita. Oke?"
"Oke, sayang....Kita harus tetap bersama"
Mengecup keningnya. "Sayang, kemarin sore aku membaca sebuah status di facebook teman. Kurang lebih begini statusnya, "Saat kita jatuh, Tuhan sedang menunjukkan apa itu bangkit"....Begitu sayang. Wah, sepertinya kita butuh istirahat yang lebih lama, Sayang. Tidak apa-apa. Yang penting kita terus bersama dan bisa melaju lebih hebat lagi."

*****
Sebenarnya, ada yang ingin kubicarakan padanya. Kami sering makan bareng di warung nasi di tepi jalan. Kami sering makan dengan jenis lauk yangsama. Aku makan tongkol, dia juga makan tongkol. Kadang tempe, tahu, sayur, soto. Tapi, terkadang juga berbeda. Aku sedang ingin makan nasi rawon, dia ingin makan nasi pecel. Tidak apa-apa. Toh sama-sama makan. Hasilnya sama-sama menyehatkan dan mengenyangkan. Selama makan pun, kami juga sama-sama saling bercerita, tetap tertawa. Stelah itu, kami juga sama-sama melanjutkan perjalanan bersama-sama.

Kapan hari yang lalu, dia bercerita tentang sakit hatinya karena ucapanku. Dia menangis dan tidak lagi mengharapkanku. Aku tidak tahu, ucapanku yang mana yang membuatnya begitu sakit hingga berikrar untuk membuang rasa harapnya padaku. Setiap kali kutanyakan padanya, "Ucapanku yang bagaimana yang membuatmu demikian? Aku minta maaf." Dia selalu menjawab, "Biarlah. Itu masalalu. AKu juga sudah memaafkannya. Tapi, setiap kali mengingatnya, rasanya itu seperti luka yang sudah kering hampir sembuh, kemudian dikuliti kembali. Perih"

Aku terus memaksanya untuk bercerita. Akhirnya dia pun bercerita. Selanjutnya, kami tetap saling tersenyum. Saling memaafkan.

Kami pun terus menyusuri jalan menuju tempat yang sudah kami rencanakan bersama. Statusnya teman di facebook, sedikit menjadi bekal untukku di perjalanan. Ketika salah satu dari kami terjatuh, itu artinya Tuhan sedang menunjukkan bagaimana bangkit. Juga bagaiman saling membangkitkan. Atau bahkan, ketika kami jatuh bersamaan sekalipun. Kami tetap tenang, karena kami percaya Tuhan.

Nah, yang ingin kuceritakan padanya adalah tentang kakinya. Menurutnya, ucapan yang menyakitkan itu, lebih menyakitkan dari pada pisau sesungguhnya yang menggores kulit. Peribahasanya, mulut itu lebih tajam daripada pisau. Tindakan/perbuatan masih kalah tajam jika dibandingkan dengan ucapan/perkataan.

Ternyata, aku lebih sensitif. Bagiku, ucapan, tindakan, mulut, mata, teinga, bahkan kaki sekalipun, itu semua sama-sama menyakitkan. Dia itu sering menendangku menggunakan kakinya. Kaki yang sesungguhnya. Bagiku, itu sangat menyakitkan. Sakitnya bukan di bagian tubuh yang terkena tendangan kakinya, tapi lukanya membekas begitu dalam di hatiku. Sebegitu hinanyakah diriku sehingga dihormati menggunakan kaki?

Jujur, aku juga sakit. Sakit sekali. Aku merasa bukan manusia jika dia memperlakukanku demikian. Aku adalah benda. Benda yang tak berharga. Inilah yang ingin kubicarakan padanya. Suatu saat nanti, aku juga harus bilang padanya tentang rasa sakit ini. Aku tidak ingin dia begitu mudah menggunakan kakinya untuk menendang seseorang untk menunjukkan rasa marahnya.

Itu menurut pandanganku. Aku juga belum tahu, seperti apa pandangannya mengenai hal ini.

Walaupun demikian, aku tetap bertahan. Karena aku punya mimpi. Aku ingin tetap melangkah bersamanya menggunakan kaki masing-masing sambil bergandengan tangan. Karena aku yakin, bahwa dia sebenarnya adalah pribadi yang lembut, anggun, dan tangguh.

Tinggal kita yang memilih, kekurangan yang mana yang dapat kau terima dari seseorang? Karena sejatinya, nobody is perfect.

Tuhan, bimbinglah kami di jalan yang Engkau ridhoi..

"Sayang, ayo kita lanjutkan perjalanan kita...."

Kamis, 15 Mei 2014

Hampir selesai apa yang telah kumulai sejak 2010 silam. Insyallah selesai di tahun ini.

Ini bukanlah akhir dari segalanya. Senang dan bahagia, itu pasti. Hanya saja, ada yang lebih penting, yaitu aku harus memikirkan langkah selanjutnya, karena aku masih hidup.

Ini bukanlah akhir. Sebaliknya. Ini adalah awal di mana aku harus segera mencari pijakkan dan kehidupan yang lain lagi setelah ini. Aku harus segera memikirkan apa lagi yang akan kumulai dan nantinya harus kuselesaikan.

Acang Udin's Concept

Kamis, 21 November 2013

Kala kau hadir mengecup rasaku
Kubawa kau dalam larutnya malam,
Kulepas kau bersama lelapnya pejaman mata

Aku menang !

Selasa, 22 Oktober 2013

24

sumber gambar : http://cherryvios.blogspot.com/2010/02/angka-24.html

12 Oktober 2013 kemarin adalah tepat usiaku yang ke 24 tahun. Itu merupakan usia manusia dengan kategori dewasa, mandiri, bijak, dan bertanggung jawab, ganteng dan tampan. Hanya saja, semuanya itu sepertinya masih belum kumiliki. Itu semua masih belum ada di dalam diri ini. Mengenaskan !!! Lantas bagaimana jika angkanya dibalik menjadi 42, apa yang akan terjadi padaku dan hidupku? Apakah aku bisa mencicipi hidupku di angka 42 tersebut ? Indah rasanya memikirkan itu ! Karena, banyak sekali harapan yang belum terwujud dalam hidupku....