Ketika aku sedang menulis cerita ini, aku baru saja sampai di kamarnya Mas Dwi. Aku baru pulang dari menonton pertunjukkan wayang kulit di kampus. Ketika tulisan ini selesai kuketik, aku masih belum tahu dalam rangka apa Fakultas Sastra mengadakan acara itu.
Sebelum aku menonton wayang, aku facebook-an di gazebo belakang bersama saudaraku Si Monyong ( Nurhadi ). Iya, itu panggilan akrab di antara kami ( dia juga memanggil aku “Monyong” ). Padahal bibirku gak monyong, yang ada juga bibirnya dia yang monyong ( Maaf ya Nyong aku telah membongkar rahasiamu ! he he he). Entah bagaimana ceritanya, aku tidak inget betul, kata sapaan itu telah menjadi trade-mark bagi kami.
Aku begitu asyik fb-an.Sampai-sampai acara wayang itu sudah dimulai, baik aku maupun Si Monyong masih tetep melototin fb masing-masing. Aku melihat banyak status teman-teman berbunyi senada, membicarakan “malam minggu”. Ada yang malming sendirian, ada yang mau ngapeli pacarnya tapi dia mau menghadiri acara lain terlebih dahulu, ada yang nungguin pacarnya tapi gak datang-datang, ada yang sedang menghadiri acara hiburan bersama pacarnya, dll. Kalo aku tuliskan, kurang lebih sperti ini bunyi status beberapa teman-teman itu.
“ Malming cendirian...”
“ Huft, kok dia gk dteng2 ya.....???”
“Sebelum malmingan, w k acara ntu dulu ah...”
“Wuihhh...hiburannya seru bgt...bersama-Nama Pacarnya”
Aku menulis status di fb tiga kali (kalo tidak salah). Setelah puas fb-an, karena bingung mau up date status apalagi, ditambah baterai laptopnya yang sudah lemah, barulah aku pergi menononton wayang kulit yang digelar di halaman depan Fakultas Sastra.
Semua orang yang menonton pertunjukkan wayang kulit itu mendapatkan konsumsi, satu kotak kue dan segelas aqua. Alhamdulillah, lumayan mengenyangkan. Di sana juga disediakan kopi dan teh. Aku pilih kopi. Sudah lama aku tidak minum kopi. Sejujurnya aku bukan pengopi, apalgi perokok. Yah, kangen aja pengen nyobain kopi lagi. Tidak lama kemudian, datang para panitia seksi konsumsi dalam acara tersebut keluar membawa nampan di kedua belah tangan mereka. Kemudian, meletakkan nampan-nampan itu di depan para penonton. Isi nampan itu aneka macam makanan rebus. Ada kacang tanah rebus, kentang, jagung, singkong, dan talas rebus. Awalnya, aku mengambil beberapa butir kacang tanah rebus dan sepotong jagung rebus. Kurang lebih 5 cm panjangnya jagung itu.
Aku tidak kepikiran apapun ketika aku mengunyah makanan itu. Aku hanya mendengarkan dan berusaha memahami apa yang dikatakan oleh dalang seraya mataku menyaksikan wayang-wayang yang dimainkan olehnya. Aku tidak mengerti bahasa jawa halus sama sekali. Aku hanya mengerti bahasa jawa kasar, itu pun tidak 100% mengerti. Setelah makanan itu selesai kukunyah, kuambil lagi sepotong talas rebus. Pada saat tanganku mengupas kulitnya, tiba-tiba pikiran terbang jauh ke masa lalu. Dadaku berdebar sedikit lebih hebat. Tanganku agak gemetaran.
Dulu, Bapakku punya kebun yang sangat luas yang jaraknya jauh dari rumah. Di sana ada kurang lebih 8 pohon rambutan yang besar-besar, pohon kecapi, melinjo, cabai, terong, pare, serai, lengkuas, jahe, tomat, kunyit, singkong, dan talas. Keberadaan kebun itu berikut isinya sangat membantu kehidupan kami. Jika musim rambutan tiba, bapak dan kakak-kakakku sibuk memetiknya, sementara ibu dan kakak perempuanku menunggu dibawah pohon rambutan bertugas mengikatnya. (mengikat rambutan tentunya, bukan mengikat bapak atau kakak laki-lakiku). Khusus aku bertugas megumpulkan rambutan yang telah dipetik serta menghitung jumlah ikatan buah rambutan itu. Baik bapak juga kakak, masing-masing mereka membawa korang dan gantar masing-masing. Korang adalah keranjang dari karung, sedangkan gantar ( galah dalam bahasa Indonesia) untuk memetik buah rambutan yang jauh dari jangkauan. Setelah korang itu penuh, akan diturunkan pelan-pelan. Sistemnya seperti kita menimba air. Setelah korang itu menyentuh tanah, kuambil korang itu, lantas kukeluarkan rambutan-rambutan itu di hadapan ibu dan kakak untuk diikat dan dijual ke tengkulak merupakan tujuan akhirnya.
Jam 4 sore kami pulang ke rumah. Tidak cukup satu hari untuk memanen buah rambutan itu, bisa mencapai satu bulan. Kenapa ? Karena, buah itu tidak sekaligus matang secara bersamaan. Sebelum pulang ke rumah, bapak menggali talas. Sambil memasak, ibu merebus talasnya. Ba’da maghrib, selalu ada tetangga yang main ke rumah. Mereka ngobrol bersama bapak juga ibu. Nah, talas rebus itulah yang menemani mereka ngobrol, dibarengi kopi hitam dan radio (kadang-kadang).
Waktu itu aku masih menyusu ke ibu. Aku belum sekolah. Kadang-kadang, kalo yang main ke rumah itu banyak, dan gak ada makanan di rumah, maka malam-malam itulah bapak dan teman-temannya pergi ke kebun untuk menggali talas. Kadang aku ikut, tapi lebih sering menyusu di ibu. Sering kali aku marah gara-gara ibu harus merebus talas malam-malam. Itu menggangguku yang sedang asyik menyusu. Tidak jarang aku menangis, hingga akhirnya bapaklah yang harus merbusnya sendiri. Membersihkan akarnya, mencucinya, menyalakan api di tungku (dulu belum jaman kompor gas, kompor minyak aja jarang). Kalo tidak bapak, kadang kakak perempuanku, kalo dia belum tidur. Tapi, setelah talas itu matang, aku pasti ikut memakannya.
Biasanya, malam minggulah talas rebus itu lebih sering ada. Kalau tidak talas,pasti singkong rebus. Karena, malam minggu itu ada siaran langsung wayang golek di radio. Waktu itu, TV masih jarang sekali, bisan dihitung pake jari. Radio juga termasuk barang langka. Juga malam sabtu, ada acara dongeng di radio. Ya, dongeng. Kalo sekarang, mungkin semacam sinetron. Talas rebus, juga sering menemani bapak dan ibu ketika memanen padi. Dimasaknya pun lebih istimewa. Kalau bisanya dikukus dengan kulitnya, tapi kalau untuk teman memanen padi, kulitnya dikupas, talasnya dipotong-potong dengan ukuran yang lebih kecil, ditaburi parutan kelapa dan garam secukupnya. Kami menyebutnya talas urap.
Beda lagi kalau di pagi hari. Pagi-pagi sekali bapak sudah pergi ke kebun. Apa lagi kalau bukan untuk menggali talas. Sementara ibu memasak air sambil merendam cucian dan menyapu halaman. Tidak lama kemudian, aku akan mencium aroma talas goreng disaat mataku masih tertutup dan tubuhku terbaring di kasur yang berkelambu. Aku langsung bangun, jalan ke dapur, makan talas goreng.
“Hemhh, kebiasaan nih...bangun tidur langsung makan. Belum cuci muka, belum sikat gigi. Bapak juga belum makan. Selalu kamu yang duluan..” kata ibu sambil memasukkan talas ke wajan di sesi kedua. Sesi pertama sudah matang.
“Pak, kupasin dong ?” pintaku ke bapak sambil memberinya talas rebus. “Kenapa sih Pak, gak nyoba nanem jagung aja ? Talas-singkong..talas-singkong....gak bosen apa ?”
“Acang, jagung itu gak cocok ditanam di kebun kita. Lagian, talas itu labih awet. ” kata ayah sambil mengusap kepalaku.
Pada saat aku mengupas talas di acara pertujukkan wayang tadi, aku inget Bapakku. Hampir saja aku menitikka air mata. Aku kangen Bapak yang telah pergi ke pangkuan-NYA di saat aku masih duduk di kelas 5 SD. Semoga Allah menempatkan Bapak di tempat yang luhur dengan segenap keridloan-NYA. NB : ternyata..wayang kulit itu dalam rangka ULANG TAHUNNYA SALAH SEORANG DOSEN JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER.
lots of pray for him :')
BalasHapus