Senin, 20 Mei 2013


Beberapa waktu lalu saya curhat kepada seorang teman dekat. Mengapa ya, saya itu selalu bingung melihat orang yang menilai saya, seperti saya ini sedang mengikuti sebuah kontes. Waktu kemudian menjadi pendek, orang komentar lagi. Waktu pakai poni lempar alias polem, jeritannya lebih keras lagi.

Aku

Waktu mulut dan tulisan saya setajam silet dan banyak yang berdarah-darah karenanya, orang mengumpat, mencerca, dan mengutukinya. Yang membela hanya mereka yang sejujurnya berkeinginan mencerca orang yang sama saya cerca, tetapi buang body karena mungkin takut menyuarakan pendapat mereka.
Dan dukungan mereka itu, saya anggap sebagai sebuah bentuk terima kasihkarena saya sudah menjadi corong suara hati mereka. Dan waktu saya mulai menyadari perbuatan tidak baik itu dan berusaha sedemikian rupa untuk menguranginya, ada suara bernyanyi bak paduan suara. Keras dan bergempita. “Samuel sekarang, dah gak ada taringnya.”

Ketika kehidupan saya kacau balau, ketika saya memiliki hubungan asmara mereka mengatakan, “Orang tak punya moral, pantaslah dapat gagal ginjal. Syukurin.” Dan setelah peristiwa gagal ginjal itu, saat saya berjanji dengan Tuhan bahwa saya mau berusaha keras untuk hidup di jalan-Nya, paduan suara itu berkumandang lagi. “Bilangin tuh. Kalau udah maksiat, maksiat aja, enggak usah sok alim.”

Dan pada saat saya berada pada periode kealiman itu, saya membentuk sebuah persekutuan do’a yang super kecil dengan jumlah anggota yang tak lebih dari lima jari, dan sampai hari ini bisa bertahan selama lebih dari tujuh tahun, suara nyaring masih ada yang mendendangkannya. “Kalau udah bertobat enggak usah mendadak jadi kayak orang suci.”

Sampai di suatu siang yang mendung itu, saya bertanya kepada teman saya itu. “Sebetulnya kita itu hidup buat nyenengin diri sendiri apa orang lain, ya? Mengapa orang lain merasa repot sekali kalau saya melakukan hal yang berbeda dengan mereka? Apa salahnya kalau ada orang jahat bisa menjadi lebih baik? Mengapa kalau saya jahat mereka mengumpat, waktu saya baik umpatannya masih ada saja?

Teman saya tampak tidak tertarik dengan diskusi yang menurut dia cukup berat. Apalagi udara lagi adem dan nyaman untuk tidur, atau paling tidak, suasana seperti ini bukan untuk didedikasikan untuk untuk sebuah pertanyaan yang membutuhkan diskusi  panjang dan lebar, yang bisa jadi berakhir dengan otot dan syaraf yang tegang. Ia hanya berujar, “Yaaah...elo kan juga enggak ada bedanya ama mereka. Elo juga bawel kalau lihat ada orang yang beda ama elo?”

Kamu

Setelah pertemuan di hari mendung itu, saya kembali teringat dengan cerita di atas, gara-gara seorang bertanya, “Elo tau gak sih, tujuan elo itu diciptakan di dunia?” Waktu pertanyaan itu masuk ke gendang telinga dan dikirim ke otak secara tiba-tiba, saya gelagapan. Bingung untuk menjawabnya. Tepatnya tidak tahu jawabannya. Saya hanya berpikir dari sejak dahulu bahwa sebagi manusia, saya tak punya tujuan selain dengan apa yang di sebut dengan cita-cita.

Saya belajar dengan tujuan untuk memenuhi keingina orangtua supaya bisa pandai dan mendapat ijazah, padahal sejak saya berusia tujuh tahun saya sudah protes kepada ibu mengapa saya harus sekolah, padaha sekarang ada yang namanya home schooling. Saya membuat pekerjaan rumah buat dosen saya karena beliau sudah menginstrusikan untuk melakukan itu. Daripada saya dihukum, ya saya mengerjakan pekerjaan rumah yang tak saya sukai itu. Apa boleh buat.

Saya membayar tagihan kartu kredit, pajak, dan lain-lainnya karena memang harus demikian adanya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Jadi, selama ini saya berbuat sesuatu untuk orang lain. Karena ketika saya bercita-cita tidak mau masuk jurusan IPA, ayah saya berteriak dengan alasan yang masuk akal untuk masuk IPA. Padahal, saya tersiksa sekali meski akhirnya  bisa lulus. Kadang saya saja masih suka bingung kok saya ini bisa lulus SMA. Buat saya itu sebuah keajaiban dunia.

Saya malah berpikir, kalau pertanyaan itu sebaiknya diajukan untuk Sang Pencipta. Kan seperti perancang apa pun dan di mana pun, mereka selalu memiliki alasan atas apa yang mereka ciptakan. Bukan ciptaannya yang ditanyai tujuan mengapa mereka dibuat, bukan?

Maka, kalau saya bingung ada orang yang selalu menilai saya, mungkin sekarang saya baru tahu tujuan saya diciptakan itu adalah untuk dinilai bak dalam kontes. Dan kalau itu membuat kepuasan batin mereka atau membahagiakan mereka karena ada yang bisa dipakai sebagai materi obrolan sore hari sambil menyeruput teh hangat, ya........ mau apalagi.

Di suatu sore, saya dan dua teman sedang mengobrol soal segala macam, sampai pada protes saya di atas. Seorang teman yang sudah berusia setengah abad lebih tujuh tahun mengatakan begini, “Sudah enggak usah dipikirin. Manusia itu ya.....seperti itu. Sekarang ini yang utama adalah menyenangkan orang lain. Merka, dan bukan kamu, kamu dan kamu.”
Ini adalah cerpen saya yang telah saya ikutkan pada lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Faber Castell Indonesia. Hanya saja, saya tidak meraih juara apa-apa. Tidak apa-apa. Yang menjadi juri program ini adalah Raditya Dika, beberapa dari Forum Lingkar Pena (FLP ), dan dari pihak Faber Castell itu sendiri.





Teman saya, seorang ibu dengan satu anak, belum lama ini berhasil mendaki puncak Gunung Kinabalu. Jika Anda melihat sosoknya saja, rasa-rasanya saya bisa tahu Anda akan menghakiminya sebagai perempuanlembek yang akan roboh segera jikaditiup angin.

Nah, itulah saya. Mungkin sama seperti Anda suka tertipi dengan apa yang dilihat mata. Dan jeleknya saya menghakimi melalui yang saya lihat dengan mata yang acap kali sudah  terbukti banyak kelirunya, tetapi tetap saja dilakukan. Jika kata orang jangan melakukan kesalahan yang sama, itu tampaknya tidak berlaku untuk saya.

“Yeaayy right”

Sejak masa SMP dahulu, ayah saya menggembleng anak-anaknya melakukan aktivitas mendaki gunung. Jadi, dengan badan kurus dan nyaris tak berdaya ini, saya sudah mendaki beberapa gunung di Bali termasuk Gunung Agung yang tertinggi. Katanya untuk melatih mental dan penguasaan diri. Menurut Ayah, mental anak-anaknya kayak tempe. Jadi, harus digembleng. Saya tak pernah bertanya apakah ayah saya pernah mendaki, yang jelas anaknya yang harus melakukan itu.

Ya begitulah orang tua. Jika yang tak bisa mereka lakukan dan cita-citakan tak kesampaian, anaknya menjadi sasaran empuk. Dan jika anaknya protes, suara macam begini yang didengar. “Supaya kamu bisa kuat. Percaya sama nasihat orang tua. Orang tua itu selalu membuat hal-hal baik buat anaknya.” Kalau sudah begitu, hati saya bersuara, “Yeayy right.” Kemudian dilanjutkan dengan suara begini, “Baik di elo kan belum tentu baik di gue.” Namun, apa daya anak hanya bisa berpasrah dan bersuara tanpa suara di dalam hati  bukan ?

Maka ketika melihat teman perempuan mendaki, saya malah salut kepada teman saya itu. Sebab, sebagai orang tua dengan satu anak, dia tak menyuruh anaknya mendaki, tetapi dirinya sendiri sebagai perempuan dan ibu. Saya tak tahu apakah karena statusnya sebagai orangtua tunggal (single parent) sehingga ia melakukan ini untuk melatih diri, mental, dan penguasaan diri yang bisa jadi berguna dalam kehidupan sehari-hari, yang ancamannya sebagai single parent juga tak kalah banyak seperti rintangan saat mendaki gunung.
Melihat teman saya itu, saya kemudian belajar. Jika menjadi orang tua, harus berani melatih diri. Tidak hanya mendaki, tetapi juga terbuka pada keadaan yang tidak statis di sekitar hidupnya.  Saya jadi teringat kepada seorang teman yang bekerja sebagai training manager di sebuah toko swalayan. Ia  mengatakan, “Sebelumnya saya jadi pramuniaga, Mas. Dari bawah banget.

Sarang baru

Saya membalas pesannya dengan mengatakan memang seharusnya demikian. Jika tak merasakan situasi di lapangan, bagaimana bisa melatih anak buah kelak. Maka, sama seperti teman perempuan saya, sebelum ia berteriak dan menjerit atau dengan suara halus menasihati anaknya, ia sendiri juga harus mengalami apa yang akan disampaikan kepada anaknya. Supaya apa yang disampaikan tidak akan terlalu tinggi atau terlalu rendah untuk dijadikan standar kekuatan mental anaknya. Sebab, ia sendiri tahu bagaimanakeadaan sesungguhnya di lapangan. Di lapangan yang bernama kaki gunung, yang dilihat dari jauh begitu indah, tetapi ketika didekati alangkah besar rintangnannya.

Maka, seperti pemikiran saya di atas, keindahan itu seperti menghakimi seseorang secara kasat mata saja. Saya tak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. Keindahan itu mengandung perjuangan yang kadang mematahkan asa. Standar yang diterapkan untuk anak bukan karena orangtua melihat standar orang lain, bukan mendengar dan mengikuti eksekusi nasihat sesama orangtua, melainkan berdasrkan pengalamannya sendiri kemudian memasang strategi untuk diterapkan kepada buah hatinya. Karena acap kali saya mendengar buah hati protes tak setuju kemudian lari keluar  untuk mencari persetujuan di tempat alin.
Maka, kalau saya ingat kembali bagaimana orangtua saya mendidik, selalu saja membangkitkan rasa amarah. Bukan karena saya mau berlaku tidak hormat, sebaliknya saya sangat menghormati. Akan tetapi, di kepala orangtua acap kali kalau anak tak mau mengikuti berakhir dengan orang tua naik pitam atau menghakimi saya sebagai anak kurang ajar.

Nah, saya sebagai anak hanya bisa berpikir kalau kata kurang ajar itu sepantasnya dicetuskan bukan karena anak tidak mengikuti nasihat orangtua, melainkan karena anak tidak dihormati sebagi individu. Saya memang anak, tetapi saya juga seorang individu. Seorang individu berhak mengungkapkan pemikirannya bahkan sebuah pemikiran yang di mata orangtua adalah pemikiran yang sok tahu, yang jauh dari jam terbang yang tinggi.

Buat saya, cinta yang sering digemborkan orangtua seyogianya tidak menimbulkan kepahitan bagi yang dicintai hingga yang dicintai terbang ke luar sarangnya dan bertengger di sarang orang lain.

Tulisan ini karya Samuel Mulia yang dimuat di koran KOMPAS, Minggu, 3 Maret 2013 di kolom Parodi halaman 27. Saya tulis ulang persis dengan teks aslinya. Alasannya adalah karena tulisan ini bagus dan penuh pembelajaran

Minggu, 19 Mei 2013




Sejujurnya, aku mulai suka memakai baju batik adalah sejak aku pindah ke bangku kuliah tiga tahun lalu. Tepatnya tahun 2010. Sebelumnya, memakai batik adalah satu pekerjaan yang sangat enggan aku lakukan. Pada masa OSPEK dulu, setiap mahasiswa baru diwajibkan memakai baju batik pada hari yang telah ditentukan oleh panitia. Faktanya,  memasuki masa aktif perkuliahan, setiap harinya banyak mahasiswa yang  memakai baju batik. Itu artinya memakai batik tidak terikat hari. Mahasiswa boleh memakai batik kapanpun mereka mau. Selain mahasiswa, para dosen dan karyawan kampus juga setiap harinya selalu banyak yang memakai baju batik.


Sabtu, 18 Mei 2013




" Ayo, Noul nang kantin !....jare ate ngopi....????" ajak Ms Bengek ke Mas Noul.
"Iyo, sek.....le..." jawab Mas Noul dari dalam sekret.
"Nyusul yo Noul !!!...." Mas Jukok agak memaksa.
"Iyo...iyo...." jawab Mas Noul.

Sebenrrnya saya agak lupa tentang peristiwa ini, awalnya gimana, dan kapan terjadinya. Lupa-lupa ingat ! Yang saya inget, yang pasti, waktu itu lagi rame di sekret. Lagi banyak orang !!! Saya sendiri juga ikut gabung dalam kerumunan orang2 di sekret walaupun sambil ngetik tugas. Mereka membicarakan beraneka topik. Rame dah pokoknya ! Saya aja cekakakan mendengar obrolan mereka....samapi-sampai, saya mengetik apa yang mereka omongkan....

Sebut saja namanya Pramu. Dia lelaki yang masih duduk di bangku SMP.

“Jeplak !!!!” 

Dia dipukul oleh ibunya dari belakang, menggunakan sebatang kayu pipih, tepat mengenai pahanya. Pramu langsung lari kocar-kacir, tidak berani menatap wajah ibunya sama sekali. Ibunya mengejar-ngejar dia sambil mengacung-acungkan kayu itu. 

“Ayo, waktunya sholat !!!!!! Dari tadi disuruh sholat…..gak sholat-sholat !!!!! Main terus !!!!!  Ayo, berhenti mainnya !!!! Ayo cepet masuk !!!!” Ibunya benar-benar marah. Pasalnya, ibunya sudah menyuruhnya berkali-kali, tapi Pramu tidak mengubrisnya. Dia tetep asyik bermain sepak bola di jalan di depan rumah bersama teman-temannya.