Beberapa waktu lalu saya curhat
kepada seorang teman dekat. Mengapa ya, saya itu selalu bingung melihat
orang yang menilai saya, seperti saya ini sedang mengikuti sebuah kontes. Waktu
kemudian menjadi pendek, orang komentar lagi. Waktu pakai poni lempar alias polem, jeritannya lebih keras lagi.
Aku
Waktu mulut dan tulisan saya setajam silet dan banyak yang
berdarah-darah karenanya, orang mengumpat, mencerca, dan mengutukinya. Yang
membela hanya mereka yang sejujurnya berkeinginan mencerca orang yang sama saya
cerca, tetapi buang body karena
mungkin takut menyuarakan pendapat mereka.
Dan dukungan mereka itu, saya anggap sebagai sebuah bentuk
terima kasihkarena saya sudah menjadi corong suara hati mereka. Dan waktu saya
mulai menyadari perbuatan tidak baik itu dan berusaha sedemikian rupa untuk
menguranginya, ada suara bernyanyi bak paduan suara. Keras dan bergempita.
“Samuel sekarang, dah gak ada taringnya.”
Ketika kehidupan saya kacau balau, ketika saya memiliki
hubungan asmara mereka mengatakan, “Orang tak punya moral, pantaslah dapat gagal
ginjal. Syukurin.” Dan setelah peristiwa gagal ginjal itu, saat saya berjanji
dengan Tuhan bahwa saya mau berusaha keras untuk hidup di jalan-Nya, paduan
suara itu berkumandang lagi. “Bilangin
tuh. Kalau udah maksiat, maksiat
aja, enggak usah sok alim.”
Dan pada saat saya berada pada periode kealiman itu, saya
membentuk sebuah persekutuan do’a yang super kecil dengan jumlah anggota yang
tak lebih dari lima jari, dan sampai hari ini bisa bertahan selama lebih dari
tujuh tahun, suara nyaring masih ada yang mendendangkannya. “Kalau udah bertobat enggak usah mendadak jadi
kayak orang suci.”
Sampai di suatu siang yang mendung itu, saya bertanya kepada
teman saya itu. “Sebetulnya kita itu hidup buat nyenengin diri sendiri apa orang lain, ya? Mengapa orang lain merasa
repot sekali kalau saya melakukan hal yang berbeda dengan mereka? Apa salahnya
kalau ada orang jahat bisa menjadi lebih baik? Mengapa kalau saya jahat mereka
mengumpat, waktu saya baik umpatannya masih ada saja?
Teman saya tampak tidak tertarik dengan diskusi yang menurut
dia cukup berat. Apalagi udara lagi adem dan nyaman untuk tidur, atau paling
tidak, suasana seperti ini bukan untuk didedikasikan untuk untuk sebuah
pertanyaan yang membutuhkan diskusi
panjang dan lebar, yang bisa jadi berakhir dengan otot dan syaraf yang
tegang. Ia hanya berujar, “Yaaah...elo
kan juga enggak ada bedanya ama
mereka. Elo juga bawel kalau lihat ada orang yang beda ama elo?”
Kamu
Setelah pertemuan di hari mendung itu, saya kembali teringat
dengan cerita di atas, gara-gara seorang bertanya, “Elo tau gak sih, tujuan elo
itu diciptakan di dunia?” Waktu pertanyaan itu masuk ke gendang telinga dan
dikirim ke otak secara tiba-tiba, saya gelagapan. Bingung untuk menjawabnya.
Tepatnya tidak tahu jawabannya. Saya hanya berpikir dari sejak dahulu bahwa
sebagi manusia, saya tak punya tujuan selain dengan apa yang di sebut dengan
cita-cita.
Saya belajar dengan tujuan untuk memenuhi keingina orangtua
supaya bisa pandai dan mendapat ijazah, padahal sejak saya berusia tujuh tahun
saya sudah protes kepada ibu mengapa saya harus sekolah, padaha sekarang ada
yang namanya home schooling. Saya
membuat pekerjaan rumah buat dosen saya karena beliau sudah menginstrusikan
untuk melakukan itu. Daripada saya dihukum, ya saya mengerjakan pekerjaan rumah
yang tak saya sukai itu. Apa boleh buat.
Saya membayar tagihan kartu kredit, pajak, dan lain-lainnya
karena memang harus demikian adanya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau.
Jadi, selama ini saya berbuat sesuatu untuk orang lain. Karena ketika saya
bercita-cita tidak mau masuk jurusan IPA, ayah saya berteriak dengan alasan
yang masuk akal untuk masuk IPA. Padahal, saya tersiksa sekali meski
akhirnya bisa lulus. Kadang saya saja
masih suka bingung kok saya ini bisa lulus SMA. Buat saya itu sebuah keajaiban
dunia.
Saya malah berpikir, kalau pertanyaan itu sebaiknya diajukan
untuk Sang Pencipta. Kan seperti perancang apa pun dan di mana pun, mereka
selalu memiliki alasan atas apa yang mereka ciptakan. Bukan ciptaannya yang
ditanyai tujuan mengapa mereka dibuat, bukan?
Maka, kalau saya bingung ada orang yang selalu menilai saya,
mungkin sekarang saya baru tahu tujuan saya diciptakan itu adalah untuk dinilai
bak dalam kontes. Dan kalau itu membuat kepuasan batin mereka atau
membahagiakan mereka karena ada yang bisa dipakai sebagai materi obrolan sore
hari sambil menyeruput teh hangat, ya........ mau apalagi.
Di suatu sore, saya dan dua teman sedang mengobrol soal
segala macam, sampai pada protes saya di atas. Seorang teman yang sudah berusia
setengah abad lebih tujuh tahun mengatakan begini, “Sudah enggak usah dipikirin. Manusia itu ya.....seperti
itu. Sekarang ini yang utama adalah menyenangkan orang lain. Merka, dan bukan
kamu, kamu dan kamu.”
kalau kita sering dinilai oleh orang lain berarti kita spesial buat mereka...
BalasHapussalam kenal gan !