Senin, 20 Mei 2013


Teman saya, seorang ibu dengan satu anak, belum lama ini berhasil mendaki puncak Gunung Kinabalu. Jika Anda melihat sosoknya saja, rasa-rasanya saya bisa tahu Anda akan menghakiminya sebagai perempuanlembek yang akan roboh segera jikaditiup angin.

Nah, itulah saya. Mungkin sama seperti Anda suka tertipi dengan apa yang dilihat mata. Dan jeleknya saya menghakimi melalui yang saya lihat dengan mata yang acap kali sudah  terbukti banyak kelirunya, tetapi tetap saja dilakukan. Jika kata orang jangan melakukan kesalahan yang sama, itu tampaknya tidak berlaku untuk saya.

“Yeaayy right”

Sejak masa SMP dahulu, ayah saya menggembleng anak-anaknya melakukan aktivitas mendaki gunung. Jadi, dengan badan kurus dan nyaris tak berdaya ini, saya sudah mendaki beberapa gunung di Bali termasuk Gunung Agung yang tertinggi. Katanya untuk melatih mental dan penguasaan diri. Menurut Ayah, mental anak-anaknya kayak tempe. Jadi, harus digembleng. Saya tak pernah bertanya apakah ayah saya pernah mendaki, yang jelas anaknya yang harus melakukan itu.

Ya begitulah orang tua. Jika yang tak bisa mereka lakukan dan cita-citakan tak kesampaian, anaknya menjadi sasaran empuk. Dan jika anaknya protes, suara macam begini yang didengar. “Supaya kamu bisa kuat. Percaya sama nasihat orang tua. Orang tua itu selalu membuat hal-hal baik buat anaknya.” Kalau sudah begitu, hati saya bersuara, “Yeayy right.” Kemudian dilanjutkan dengan suara begini, “Baik di elo kan belum tentu baik di gue.” Namun, apa daya anak hanya bisa berpasrah dan bersuara tanpa suara di dalam hati  bukan ?

Maka ketika melihat teman perempuan mendaki, saya malah salut kepada teman saya itu. Sebab, sebagai orang tua dengan satu anak, dia tak menyuruh anaknya mendaki, tetapi dirinya sendiri sebagai perempuan dan ibu. Saya tak tahu apakah karena statusnya sebagai orangtua tunggal (single parent) sehingga ia melakukan ini untuk melatih diri, mental, dan penguasaan diri yang bisa jadi berguna dalam kehidupan sehari-hari, yang ancamannya sebagai single parent juga tak kalah banyak seperti rintangan saat mendaki gunung.
Melihat teman saya itu, saya kemudian belajar. Jika menjadi orang tua, harus berani melatih diri. Tidak hanya mendaki, tetapi juga terbuka pada keadaan yang tidak statis di sekitar hidupnya.  Saya jadi teringat kepada seorang teman yang bekerja sebagai training manager di sebuah toko swalayan. Ia  mengatakan, “Sebelumnya saya jadi pramuniaga, Mas. Dari bawah banget.

Sarang baru

Saya membalas pesannya dengan mengatakan memang seharusnya demikian. Jika tak merasakan situasi di lapangan, bagaimana bisa melatih anak buah kelak. Maka, sama seperti teman perempuan saya, sebelum ia berteriak dan menjerit atau dengan suara halus menasihati anaknya, ia sendiri juga harus mengalami apa yang akan disampaikan kepada anaknya. Supaya apa yang disampaikan tidak akan terlalu tinggi atau terlalu rendah untuk dijadikan standar kekuatan mental anaknya. Sebab, ia sendiri tahu bagaimanakeadaan sesungguhnya di lapangan. Di lapangan yang bernama kaki gunung, yang dilihat dari jauh begitu indah, tetapi ketika didekati alangkah besar rintangnannya.

Maka, seperti pemikiran saya di atas, keindahan itu seperti menghakimi seseorang secara kasat mata saja. Saya tak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. Keindahan itu mengandung perjuangan yang kadang mematahkan asa. Standar yang diterapkan untuk anak bukan karena orangtua melihat standar orang lain, bukan mendengar dan mengikuti eksekusi nasihat sesama orangtua, melainkan berdasrkan pengalamannya sendiri kemudian memasang strategi untuk diterapkan kepada buah hatinya. Karena acap kali saya mendengar buah hati protes tak setuju kemudian lari keluar  untuk mencari persetujuan di tempat alin.
Maka, kalau saya ingat kembali bagaimana orangtua saya mendidik, selalu saja membangkitkan rasa amarah. Bukan karena saya mau berlaku tidak hormat, sebaliknya saya sangat menghormati. Akan tetapi, di kepala orangtua acap kali kalau anak tak mau mengikuti berakhir dengan orang tua naik pitam atau menghakimi saya sebagai anak kurang ajar.

Nah, saya sebagai anak hanya bisa berpikir kalau kata kurang ajar itu sepantasnya dicetuskan bukan karena anak tidak mengikuti nasihat orangtua, melainkan karena anak tidak dihormati sebagi individu. Saya memang anak, tetapi saya juga seorang individu. Seorang individu berhak mengungkapkan pemikirannya bahkan sebuah pemikiran yang di mata orangtua adalah pemikiran yang sok tahu, yang jauh dari jam terbang yang tinggi.

Buat saya, cinta yang sering digemborkan orangtua seyogianya tidak menimbulkan kepahitan bagi yang dicintai hingga yang dicintai terbang ke luar sarangnya dan bertengger di sarang orang lain.

Tulisan ini karya Samuel Mulia yang dimuat di koran KOMPAS, Minggu, 3 Maret 2013 di kolom Parodi halaman 27. Saya tulis ulang persis dengan teks aslinya. Alasannya adalah karena tulisan ini bagus dan penuh pembelajaran
Categories:

0 comments:

Posting Komentar