Rabu, 02 Oktober 2013


 
Sumber Gambar ; Google

Awalnya aku sangat menolak masuk ke sebuah institusi yang bernama "Pondok Pesantren".  Itu sangat bertolak belakang dengan keinginan, impian dan kebiasaanku ketika duduk di SMP. Kenyataannya, baik ayah maupun ibu benar-benar memarahiku dengan amat sangat, secara verbal maupun non-verbal, setelah pengumuman kelulusan SMP. Aku tidak diberi uang saku, tidak disapa selama berhari-hari. Aku kehilangan beberapa priviledge-ku.

"Pilihannya hanya ada dua, mondok atau tidak sekolah sama sekali !!!!" kata ayah sewaktu memarahiku.
"Ibu dan ayah sudah capek! Beribu-ribu kali bolak-balik ke sekolah hanya untuk mendengar laporan tentang kenakalanmu!" ucap Ibu.


Selama SMP, aku dan teman-teman se-geng berkali-kali di-skors, ribuan kali dijemur di tengah lapangan selama berjam-jam, di panggil ke kantor oleh kepala sekolah entah berapa kali. Aku dan teman se-geng pernah ngerjain "Bu Guru Kiler" hingga menangis, mengempesi ban motor Pak Guru karena saking bencinya, mencoret-coret tembok sekolah sebagai tanda penolakkan, menjelek-jelekkan seorang guru dalam bentuk selebaran kertas karena kami anggap dia telah mencemarkan nama baikku dan geng-ku, mejelek-jelekkan kami di depan temen-temen sekelas waktu dia ngajar, dan masih banyak lagi.

Pondok pesantren itu penuh dengan peraturan yang kolot, kaku, dan tidak memberi kebebasan sedikitpun. Aku tak bisa membayangkan jika aku harus memakai kerudung lebar dan rok panjang . Ribet, repot, gerah, dan mengurangi kecantikkan seorang perempuan. Aku ingin bebas. Sebebas waktu duduk di bangku SMP.
Setelah dua minggu tak dianggap ada dan dilarang keluar rumah oleh kedua orangtuaku, akhirnya aku memberi jawaban bahwa aku mau sekolah di pondok pesantren.

"Halo...Dela, ini aku, Rahma. Bisa jemput aku sekarang ? Di wartel alun-alun, sampinnya Kantor Pos...."
Kala itu genap dua bulan aku di pondok. Aku tidak betah dan butuh refreshing. Kerudung lebar dan rok SMA sudah kuganti dengan pakaian biasa di toilet Pom Bensin. Peraturan di pesantren belum mempengaruhiku sedikitpun.

"Hah, kamu ??? Horeeeee akhirnya kamu pulang juga...." suara Dela memekakkan telinga. "Iya...bisa..bisa... Tunggu, sekarang juga aku ke sana...." ucapnya pasti.

Aku dan teman-teman se-geng kumpul lagi. Merayakan pertemuan dengan menonton konser grup band asal Jakarta di lapangan alun-alun kota. Sejujurnya, aku ingin pulang ke rumah. Aku sangat merindukan Ayah dan Ibu. Tapi aku males mendengarkan ceramah dari mereka. Selanjutnya, aku sering keluar pondok tanpa ijin dan meminta temen-temen menjemputku di tempat biasa.

"Rahma, Ibu dan ayah sudah memutuskan. Ini adalah kesempatan terakhir kamu di sekolah. Jika Ayah dan Ibu dipanggil untuk datang ke pondok ini lagi, itu artinya Ibu dan Ayah juga akan membawamu pulang." Kata Ibu di dalam kamarku sewaktu mereka datang ke pondok, karena dapat surat panggilan. Aku ketahuan sering kabur. Teman-teman sekamarku tak ada yang bergeming waktu aku dimarahi Ibu. Sayangnya, aku masih tetap sering dihukum. Hanya saja pihak pondok tidak lagi mengirim surat ke rumah. Tepat satu hari sebelum kenaikan kelas, aku dihukum habis-habisan di pondok. Aku dijemur di tengah lapangan. Semua orang sepondok pesantren, laki-laki dan perempuan, guru-guru, pegawai dan karyawan, semuanya melihat ke arahku dari kejauhan, dari teras kelas dan loby gedung. Mereka berbaris dan berteriak-teriak ke arahku.

"Pencuri jangan diberi ampun !" teriak teman-teman sekelas sambil mengacung-acungkan tangannya.

"Penjara tempatnya pencuri....bukan pesantren ! " kata sekelompok lainnya.

"Pencuri tidak pantas hidup !!! Bunuh saja...."  teriak yang lainnya.

"Ilmu seorang pencuri...tidak akan berkah !!! Tidak akan bermanfaat !!!" teriak guru-guru.

Mereka meneriakiku dengan kata-kata kasar. Sumpah serapah semuanya ditujukan kepadaku. Beberapa melempariku dengan kertas dan batu. Sehingga, kerudungku bercak-bercak merah karena pelipisku luka kena batu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku dituduh mencuri. Aku menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba Ayah dan Ibuku datang berbarengan."RAHMAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.....KAMU BENAR-BENAR KETERLALUAN.....KAMU BENAR-BENAR ANAK DURHAKA....." ayah dan ibu berteriak bersamaan.

“TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKK” Aku berteriak sekut-kuatnya. Sekeras-kerasnya.
Aku bangun tiba-tiba. Aku duduk. Kusandar badanku ke dipan. Badanku rasanya lemes sekali.
"Astaghfirullaah al adzim..." ucapku gemetar. Nafasku memburu. Seluruh badanku kuyup oleh keringat. Kulirik jam di meja samping tempat tidurku. Pukul 02.15 dini hari. Segera kuraih handphone yang tergeletak di dekatnya.

" Assalaamualaikum....." ucapku.

“ Halo. Wa’alaikumussalaam.....” ayah menjawab di ujung telepon.

“ Ayah...Ibu..maafkan Rahma...hiks hiks hiks hiks......” aku sesenggukan. “Maafkan Rahma yang selalu menyusahkan Ayah dan Ibu....hiks hiks hiks... Rahma tidak ingin menjadi anak durhaka...”

“Sayang...kamu kenapa tho ? Ada apa?” ganti suara Ibu di ujung sana. “ Kamu baik-baik saja kan, Nak?”

“Ibu, Rahma minta maaf lahir batin Buu....Maafin Rahma yang selalu menyusahkan Ibu..hiks hiks”

“Iya sayang, Ibu dan Ayah selalu memaafkanmu. Ibu dan Ayah selalu mendoakanmu. Semoga kuliahmu di Al-Azhar sana, senantiasa diberi kemudahan oleh Allah SWT. Senantiasa diberi kelancaran, kesehatan, dan keselamatan...”

Aku masih sesenggukan.

“Rahma, bukannya sekarang masuk liburan semester  ?” tanya Ibu. “Kapan berencana pulang ke tanah air ? Oh ya, baru saja ada orang yang nganterin sebuah kiriman. Ibu buka, ternyata isinya nilai kuliahmu semester ini. Terima kasih ya sayang, Ibu bangga sama kamu..”

“Iya...ayah juga...” kata Ayah menggoda.

“Iya ??? “ aku kaget. Seketika tangisku terhenti. “Rahma sendiri belum lihat, Bu...”

“Selamat ya sayang....nilai mu masih sama seperti seperti semester kemarin !!! “ Ibu girang. “ Teruslah bertahan di tempat tertinggi sayang !!!” Ibu menyemangatiku.

Usai berbicara dengan Ayah dan Ibu, aku terdiam beberapa saat. Kisah nyata dalam hidupku terulang kembali dalam mimpi. Walaupun kisahnya tidak seutuhnya sama, itu benar-benar membuatku sadar akan banyak hal.

Aku sangat berterima kasih kepada kedua orangtuaku yang telah membuatku menjadi perempuan yang lebih baik dari sebelumnya. Setia menemaniku melewati masa-masa suram di masa lalu. Merka berhasil, merubah bahkan menghapus kebiasaan burukku menjadi kebiasaan baikku. Terima kasih karena akhirnya aku enggan untuk tidak berkerudung.  

Aku juga sangat berterima kasih kepada seluruh guru-guru di pondok pesantren. Terima kasih atas kesetiaan dan ketabahan mereka sehingga aku bisa hijrah ke negeri seribu menara ini. Terima kasih juga kepada Departemen Agama Republik Indonesia yang telah membiayai kuliahku selama ini.

"Semoga aku tetap bisa mempertahankan nilaiku di semester akhir tahun depan. Semoga aku bisa lulus cumloud.  Batinku. Aku segera beranjak dari tempat tidur, lantas mengambil air wudhu hendak sholat malam.

Aku akan pulang ke tanah air minggu depan.
Categories:

0 comments:

Posting Komentar