Awalnya aku sangat menolak masuk ke
sebuah institusi yang bernama "Pondok Pesantren". Itu sangat bertolak belakang
dengan keinginan, impian dan kebiasaanku ketika duduk di SMP. Kenyataannya,
baik ayah maupun ibu benar-benar memarahiku dengan amat sangat, secara verbal
maupun non-verbal, setelah pengumuman kelulusan SMP. Aku tidak diberi uang
saku, tidak disapa selama berhari-hari. Aku kehilangan beberapa priviledge-ku.
"Pilihannya hanya ada dua, mondok atau tidak sekolah
sama sekali !!!!" kata ayah sewaktu memarahiku.
"Ibu dan ayah sudah capek! Beribu-ribu kali
bolak-balik ke sekolah hanya untuk mendengar laporan tentang kenakalanmu!"
ucap Ibu.
Selama SMP, aku dan teman-teman se-geng berkali-kali
di-skors, ribuan kali dijemur di tengah lapangan selama berjam-jam, di panggil
ke kantor oleh kepala sekolah entah berapa kali. Aku dan teman se-geng pernah
ngerjain "Bu Guru Kiler" hingga menangis, mengempesi ban motor Pak
Guru karena saking bencinya, mencoret-coret tembok sekolah sebagai tanda
penolakkan, menjelek-jelekkan seorang guru dalam bentuk selebaran kertas karena
kami anggap dia telah mencemarkan nama baikku dan geng-ku, mejelek-jelekkan
kami di depan temen-temen sekelas waktu dia ngajar, dan masih banyak lagi.
Pondok pesantren itu penuh dengan peraturan yang kolot,
kaku, dan tidak memberi kebebasan sedikitpun. Aku tak bisa membayangkan jika
aku harus memakai kerudung lebar dan rok panjang . Ribet, repot, gerah, dan
mengurangi kecantikkan seorang perempuan. Aku ingin bebas. Sebebas waktu duduk
di bangku SMP.
Setelah dua minggu tak dianggap ada dan dilarang keluar
rumah oleh kedua orangtuaku, akhirnya aku memberi jawaban bahwa aku mau sekolah
di pondok pesantren.
"Halo...Dela, ini aku, Rahma. Bisa jemput aku
sekarang ? Di wartel alun-alun, sampinnya Kantor Pos...."
Kala itu genap dua bulan aku di pondok. Aku tidak betah
dan butuh refreshing. Kerudung lebar
dan rok SMA sudah kuganti dengan pakaian biasa di toilet Pom Bensin. Peraturan
di pesantren belum mempengaruhiku sedikitpun.
"Hah, kamu ??? Horeeeee akhirnya kamu pulang
juga...." suara Dela memekakkan telinga. "Iya...bisa..bisa... Tunggu,
sekarang juga aku ke sana...." ucapnya pasti.
Aku dan teman-teman se-geng kumpul lagi. Merayakan
pertemuan dengan menonton konser grup band asal Jakarta di lapangan alun-alun
kota. Sejujurnya, aku ingin pulang ke rumah. Aku sangat merindukan Ayah dan Ibu.
Tapi aku males mendengarkan ceramah dari mereka. Selanjutnya, aku sering keluar
pondok tanpa ijin dan meminta temen-temen menjemputku di tempat biasa.
"Rahma, Ibu dan ayah sudah memutuskan. Ini adalah
kesempatan terakhir kamu di sekolah. Jika Ayah dan Ibu dipanggil untuk datang
ke pondok ini lagi, itu artinya Ibu dan Ayah juga akan membawamu pulang."
Kata Ibu di dalam kamarku sewaktu mereka datang ke pondok, karena dapat surat
panggilan. Aku ketahuan sering kabur. Teman-teman sekamarku tak ada yang
bergeming waktu aku dimarahi Ibu. Sayangnya, aku masih tetap sering dihukum.
Hanya saja pihak pondok tidak lagi mengirim surat ke rumah. Tepat satu hari sebelum kenaikan kelas, aku dihukum habis-habisan di
pondok. Aku dijemur di tengah lapangan. Semua orang sepondok pesantren,
laki-laki dan perempuan, guru-guru, pegawai dan karyawan, semuanya melihat ke
arahku dari kejauhan, dari teras kelas dan loby gedung. Mereka berbaris dan
berteriak-teriak ke arahku.
"Pencuri jangan diberi ampun !"
teriak teman-teman sekelas sambil mengacung-acungkan tangannya.
"Penjara tempatnya pencuri....bukan pesantren ! " kata sekelompok lainnya.
"Pencuri tidak pantas hidup !!! Bunuh saja...." teriak yang lainnya.
"Ilmu seorang pencuri...tidak akan berkah !!! Tidak akan bermanfaat !!!" teriak guru-guru.
Mereka meneriakiku dengan kata-kata kasar. Sumpah
serapah semuanya ditujukan kepadaku. Beberapa melempariku dengan kertas dan
batu. Sehingga, kerudungku bercak-bercak merah karena pelipisku luka kena batu.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku dituduh mencuri. Aku menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba Ayah dan Ibuku datang berbarengan."RAHMAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.....KAMU
BENAR-BENAR KETERLALUAN.....KAMU BENAR-BENAR ANAK DURHAKA....." ayah dan
ibu berteriak bersamaan.
“TIDAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKK” Aku berteriak sekut-kuatnya. Sekeras-kerasnya.
Aku bangun tiba-tiba. Aku duduk. Kusandar
badanku ke dipan. Badanku rasanya lemes sekali.
"Astaghfirullaah al adzim..." ucapku gemetar. Nafasku memburu. Seluruh badanku kuyup oleh keringat. Kulirik jam di meja samping tempat tidurku. Pukul 02.15 dini hari. Segera kuraih handphone yang tergeletak di dekatnya.
"Astaghfirullaah al adzim..." ucapku gemetar. Nafasku memburu. Seluruh badanku kuyup oleh keringat. Kulirik jam di meja samping tempat tidurku. Pukul 02.15 dini hari. Segera kuraih handphone yang tergeletak di dekatnya.
" Assalaamualaikum....." ucapku.
“ Halo. Wa’alaikumussalaam.....” ayah menjawab di ujung telepon.
“ Ayah...Ibu..maafkan Rahma...hiks hiks hiks hiks......” aku sesenggukan. “Maafkan Rahma yang selalu menyusahkan Ayah dan Ibu....hiks hiks hiks... Rahma tidak ingin menjadi anak durhaka...”
“Sayang...kamu kenapa tho ? Ada apa?” ganti suara Ibu di ujung sana. “ Kamu baik-baik
saja kan, Nak?”
“Ibu, Rahma minta maaf lahir batin Buu....Maafin Rahma yang selalu menyusahkan Ibu..hiks hiks”
“Iya sayang, Ibu dan Ayah selalu memaafkanmu. Ibu dan Ayah selalu mendoakanmu. Semoga kuliahmu di Al-Azhar sana, senantiasa diberi kemudahan oleh Allah SWT. Senantiasa diberi kelancaran, kesehatan, dan keselamatan...”
Aku masih sesenggukan.
“Rahma, bukannya sekarang masuk liburan semester ?” tanya Ibu. “Kapan berencana pulang ke tanah air ? Oh ya, baru saja ada orang yang nganterin sebuah kiriman. Ibu buka, ternyata isinya nilai kuliahmu semester ini. Terima kasih ya sayang, Ibu bangga sama kamu..”
“Iya...ayah juga...” kata Ayah menggoda.
“Iya ??? “ aku kaget. Seketika tangisku terhenti. “Rahma sendiri belum lihat, Bu...”
“Selamat ya sayang....nilai mu masih sama seperti seperti semester kemarin !!! “ Ibu girang. “ Teruslah bertahan di tempat tertinggi sayang !!!” Ibu menyemangatiku.
Usai berbicara dengan Ayah dan Ibu, aku
terdiam beberapa saat. Kisah nyata dalam hidupku terulang kembali dalam mimpi.
Walaupun kisahnya tidak seutuhnya sama, itu benar-benar membuatku sadar akan
banyak hal.
Aku sangat berterima kasih kepada kedua
orangtuaku yang telah membuatku menjadi perempuan yang lebih baik dari
sebelumnya. Setia menemaniku melewati masa-masa suram di masa lalu. Merka
berhasil, merubah bahkan menghapus kebiasaan burukku menjadi kebiasaan baikku.
Terima kasih karena akhirnya aku enggan untuk tidak berkerudung.
Aku juga sangat berterima kasih kepada
seluruh guru-guru di pondok pesantren. Terima kasih atas kesetiaan dan
ketabahan mereka sehingga aku bisa hijrah ke negeri seribu menara ini. Terima
kasih juga kepada Departemen Agama Republik Indonesia yang telah membiayai
kuliahku selama ini.
Aku akan pulang ke tanah air minggu depan.
0 comments:
Posting Komentar