Senin, 14 Oktober 2013


 Suatu hari terjadi pertengkaran di antara sepasang kekasih. Salah satu dari mereka ingin meminta maaf atas pertengkaran itu lewat sebuah surat. Berikut adalah surat yang awalnya akan dikirimkan olehnya ke pasangannya. Tapi itu tak terjadi karena semua sudah selesai.

Kini mereka lebih erat.




Kalau Cinta Jangan Marah

Jika kau bertanya apakah aku marah kepadamu, dengan tegas aku akan menjawab “ Iya. Aku marah ! “

Aku marah karena telah kau telah mengusirku dengan sengaja di hadapan banyak orang. Kau bilang aku pengganggu. Kau telah mempermalukan aku di depan teman-teman. Dengan raut wajah yang tak ramah penuh emosi, diiringi dengan lambaian tangan tanda pengusiran dan penolakkan, sepertinya kau benar-benar tidak ingin melihatku lagi. Sepertinya, kau benar-benar tidak menginginkan aku beradadi dekatmu. Sepertinya, kau benar-benar sudah tidak membutuhkan aku lagi.

Jika keberadaanku di sisimu adalah sebuah musibah, ditambah aku yang benar-benar sudah tidak kau butuhkan lagi,  maka tidak ada pilihan terbaik selain aku benar-benar harus pergi. Pergi secepatnya. Pergi tanpa menampakkan diri kembali di hadapanmu.

Padahal sebenarnya, tidak ada sedikitpun di pikiranku untuk mengganggumu. Padahal sebenarnya, aku ingin duduk di sampingmu sambil menunggumu, menjawab apa yang kau tanyakan, padahal aku ingin membantumu.  Aku selalu mengharapkan kedatanganmu ke kampus, termasuk di hari itu. Namun, apa yang terjadi ? Kau malah mengusirku.

Separah itulah apa yang ada di dalam pikiranku menyikapi peristiwa kemarin pagi. Jahat, kejam dan tega. Sepertinya inilah kata yang tepat untuk disematkan kepadaku. Iya tidak ? Atau mungkin kau punya kata-kata lain yang lebih tepat dan pas ?

Aku tahu kamu sedang mendiskusikan suatu hal yang sulit kau fahami. Kau sedang serius mendengarkan dan menyimak pemaparan orang lain tentang sesuatu yang sulit kau fahami tersebut.

Aku bertanya sesuatu kepada orang yang sedang menjelaskan itu. Orang itu pun berbalik badan ke arahku dan memaparkan jawaban atas pertanyaan yang aku ajukan ke padanya. Usai menjawab pertanyaanku, dia kembali berbalik badan ke arah mu hendak mendiskusikan perkara yang belum selesai dan tuntas dibahas. Kemudian aku bertanya lagi ke seorang teman tersebut. Aku mengajukan pertanyaan lanjutan dan itu membuat dia harus berblik badan kembali. Akhirnya, di situ terjadi diskusi sejenak antara aku dan orang itu. Tiba-tiba kamu marah dan memintaku untuk segera pergi tepat disaat aku sudah selesai berbincang-bincang ringan dengannya. Aku pergi. Aku marah. Dan aku dengan jelas menunjukkan kemarahan itu di hadapanmu.

Tidak lama kemudian, aku mengirim SMS ke Handphone-mu “Setiap orang punya hak untuk marah. Kamu jangan sok sibuk ! Sok serius! “. Akhirnya kau pun tidak membalas SMS ku.

Mungkin, menurut ukuranmu:
·  Ini adalah hal sepele dan aku tidak pantas marah.
·  Ini adalah bukan hal serius dan tidak perlu dipermasalahkan atau dibahas panjang lebar.
·  Ini adalah hal yang tidak penting.
·  Atau mungkin juga, sebenarnya kamu berkata seperti itu (mengusirku) tidak bermaksud untuk menyakiti dan membuatku marah.

Beberapa jam setelah peristiwa itu, kita bertemu lagi dalam satu ruangan yang sama. Kita duduk tepat berdampingan. Aku masih tetap marah kepadamu. Dan aku yakin kamu pun menyadari itu.

Aku malah tambah marah. Kenapa ? Aku melihat kamu ikut-ikutan marah kepadaku ! Kamu marah kepadaku karena aku marah kepadamu. Itu terlihat ketika kamu meninggalkan ruangan itu tanpa bilang “Aku duluan ya...” atau semacamnya. Kamu pergi meninggalkanku tanpa senyuman.

Padahal, aku ingin sekali melihat wajahmu yang tidak marah kepadaku. Aku ingin kau menyapaku seperti biasanya. Aku ingin kau mendinginkan amarah ini. Aku ingin segera menghilangkan marah ini. Kenapa malah kau sulut sehingga api ini malah tambah besar ? Jika demikian, siapa yang harus memadamkannya ? Tentu aku sendiri. Tapi, aku ingin kau yang memadamkannya dengan senyumanmu. Sampai kapan api ini akan terus berkobar membara ? Padahal, besar kemungkinan segala sesuatu yang ada disekitarnya akan rusak hancur berantakan ikut terbakar dan hanya akan menjadi sesuatu yang tidak berguna sama sekali bagi siapa pun !!!!!

TIDAK !!! TIDAK DEMIKIAN SEHARUSNYA  !!!

Ketika aku datang menghampirimu yang sedang berdiskusi dengan orang itu seharusnya aku bilang “Permisi, maaf mengganggu sebentar.... Boleh aku bertanya ?” atau semacamnya sebagai tanda permohonan ijin. Jika tidak, jelas itu sangat mengganggu dan melanggar kode etik pergaulan dan bersosialisasi. Aku seharusnya tidak boleh masuk ke dalam percakapan kalian begitu saja. Aku juga harus mengertikeadaanmu. Kamu hendak bertugas menjelaskan apa yang telah kau bahas dengan orang itu ke khalayak banyak, sementara yang akan di sampaikan belum begitu kamu kuasai dan fahami. Amat sangat normal jika kamu tidak ingin diganggu.

Ini adalah kelemahanku, mudah marah. Aku sering marah di tempat dan waktu yang salah. Yang akhirnya aku meyesalinya dengan amat sangat menyesal.

Maafkan aku, Sayang....


Categories:

0 comments:

Posting Komentar