Senin, 14 Oktober 2013


Ini adalah surat yang telah kukirim ke Mas Erik, beberapa hari setelah adik saya (di SWAPENKA) Rahmat Tunjung Permana meninggal. Mas Erik adalah kakak dari almarhum. Dari itu, saya pun menganggap dia (Mas Erik) seperti Kakak Kandung sendiri. Melihat Mas Erik, mengingatkanku pada Kakak KAndungku, Aceng Sumartin, yang telah meninggal ketika aku duduk di kelas 5 SD tahun 2001

Sedikit Kisah Tentang Mas Erik

Mas Erik memiliki banyak kesamaan dengan Almarhum Kakakku, Aceng. Selain postur tubuhnya yang sama, gede dan tinggi, pengalamannya juga ada sedikit kemiripan. Kakak saya sekolah ke-ABRI-an di Cengkareng (entah tahun berapa dan apa nama sekolahnya, saya lupa), sementara Mas Erik sekolah Kepolisian di Surabaya. Tetapi, sekarang Mas Erik menjadi Guru di salah satu SMA di Kalimantan, dan sudah dikaruniai seorang putra bernama Ataya yang lahir pada 21 Juni 2013 (kalo tidak salah... :) 
 
Saya ingin sekali berkunjung ke rumah Mas Erik....di Tarakan, Kalimantan Timur.

Surat Untuk Mas Erik
 

Dalam Duka Ada Suka



Mas, Acang sangat terkejut sesaat setelah mendengar kabar Dik Tunjung masuk ruang ICU. Acang dapat kabar itu dari teman, Fitri Novianti namanya (Rotan nama pencinta alamnya), lewat SMS. Dalam SMS itu Fitri juga mengajak Acang untuk menjenguk Dik Tunjung saat itu juga. Sayangnya, Acang telat membuka SMS itu. Acang baru saja selesai nyuci pakean waktu itu. Acang langsung membalas SMS dari Fitri, menanyakan kapan Dik Tunjung masuk ICU, sakit apa, di rumah sakit mana, lantai berapa, dll. Ketika Acang membalas itu, ternta Fitri sudah berada di RS Bina Sehat bersama Dik Tunjung. Acang diminta untuk menyusul dan pergi bersama teman yang lainnya. Akhirnya, Acang pun pergi bersama Nurhadi (Rantau nama pencinta alamnya). 

Ketika Acang tiba di sana, Fitri dan kawan-kawan yang pergi duluan....sudah pulang. Bukan mereka yang terlalu sebentar menjenguk, tapi memang Acang yang nyusulnya kelamaan. Iya, Acang kesulitan mencari pinjaman motor untuk pergi ke sana. Alhamdulillaah, akhirnya dapat pinjaman motor dari Pak Dwi, seorang dosen jurusan PSTF ( Program Studi Televisi dan Film, salah satu prodi baru di Fakultas Sastra).

Waktu itu hari minggu, Mas. Waktu pertama kali Acang menjenguk Dik Tunjung. Sempat kebingungan mecari di mana ruangannya setiba di RS Bina Sehat. Sekalipun...waktu itu Acang sudah mau masuk ke ruang ICU, masih tetep kebingungan. Acang membatin, Ini ruang ICU, tapi di mana Tunjungnya? Yang ada...di depan ICU adalah sekumpulan orang yang sedang berdoa dan dzikir berjamaah. Di antara kumpulan itu, ada Rona (namun Acang memanggilnya Ardi)

“Ardi, lagi jenguk siapa ?” tanya Acang ke Ardi seraya bersalaman dengannya, setelah Acang mondar mandir mencari kamar Dik Tunjung.

“Saudaraku, Mas ...” jawab Ardi.

“Tunjung di mana ya...? Ardi kenal Tunjung ? “. Waktu itu, Acang benar-benar tidak tahu kalo Ardi itu sedang menjenguk Dik Tunjung dan bersudara dengannya.

“Nyari Tunjung ?” Kata seorang Ibu.

 “Iya, Ibu...”

“Itu ruangannya. Adek bisa melihatnya dari jendela sebelah sana.....” kata Ibu sambil menunjuk ke arah jendela.

Awalnya Acang menduga, sepertinya ini keluarga Dik Tunjung. Ternyata benar.... bahwa sekumpulan orang itu adalah orang-orang yang sangat mencintai dan dicintai oleh Dik Tunjung. 

Lantas, Acang pun setengah berlari menuju ke arah jendela diikuti Nurhadi agar kami bisa bisa melihat kondisi Dik Tunjung. Setiba di sana, Acang menitikkan air mata. Sungguh sangat kasihan melihat keadaan beliau dengan badan dibalut selang dan kabel-kabel. Nafas pun dibantu oleh alat. Acang diam, berdoa, dan menangis. Iya Mas, Acang ini cengeng. Gampang menangis.

Acang kembali lagi ke ruangan di depan ruang ICU. Acang ikut duduk bersama keluarga Dik Tunjung. Bersama Ibu, Bapak, Mas, Ardi, Pak Ustadz, dan seorang Ibu yang belum Acang kenal namanya hingga sekarang. Siapa sih Mas Ibu yang satunya itu ? Selama pembacaan dzikir berlangsung, Ibu tak henti-hentinya menangis sambil memutar tasbih.

Usai pembacaan dzikir dan doa, barulah Acang bersalaman dengan semua orang yang ada di situ. Acang memperkenalkan diri bahwa Acang teman Dik Tunjung di kampus.....dan Acang  bertanya kepada mereka, siapa saja mereka itu. Lantas Ibu memperkenalkannya ke Acang. Sebenarnya dari situlah Acang baru tahu siapa mereka. Dalam benak...” ohh,ternyata ini Ibunya, ini bapaknya, ini kakaknya, ini sudaranya...”.

Usai dzikir yang dipimpin oleh Pak Ustadz, kita pun pindah keluar, Mas, atas permintaan seorang suster. Pembicaraan itu pun berlanjut di luar ruangan. Acang bertanya banyak hal. Ibu, Bapak, dan Mas sendiri menjawab pertnyaan-pertanyaan Acang dan memberikan informasi yang lengkap, terutama Ibu.

Entah berapa lama Acang berada di situ untuk pertama kalinya menjenguk Dik Tunjung.

Mas, sesaat setelah Acang melihat Mas, Acang langsung teringat kakak kandung Acang yang pertama. Bukan ketika kita berada di dalam ruangan depan ruang ICU tempat kita berdzikir berjamaah, tetapi pada waktu Acang ngorol dengan Ibu di luar ruangan itu. Ketika Acang bilang bahwa Acang sering koment di status-statusnya Dik Tunjung yang menceritakan bahwa dia sedang sakit dan gak sembuh-sembuh. Waktu itu Mas juga bilang bahwa Mas juga memberikan koment di status-statusnya beliau. Pada saat itulah Acang menatap mas lama, sementara pikiran teringat pada Kakak kandung tercinta yang telah tiada.

Di kunjungan-kunjungan Acang selanjutnya selama Dik Tunjung di rawat di ruang ICU...kita bercerita tentang banyak hal ya Mas. Di setiap seusai tahlil, bahkan detik-detik sesaat sebelum Mas mau pulang ke Kalimantan, kita masih bercerita ya Mas.

*****

Nama aslinya Aceng Sumartin. Panggilannya Aceng. Dia adalah anak pertama dari lima bersaudara. Dulu, kata Ibu, ketika beliau masih kecil dipanggil Edi. Sehingga, orang-orang memanggil Ibu dengan panggilan Ibu Edi, buka Ibu Aceng atau Ibu Ma’i. Iya Mas, Ma’i adalah nama ayah kandung Acang. Sekarang Ibu dipanggil Ibu Acang. Acang anak terakhir. Bungsu.

Kak Aceng adalah sosok yang mandiri. Sejak muda beliau selalu berusaha medapatkan apa yang dia inginkan tanpa meminta ke Ibu dan Bapak, apalagi ke orang lain, terutama setelah adik-adiknya terlahir berdatangan ke dunia.

Mas, dulu, Kak Aceng juga pernah sekolah ke-ABRI-an di Cengkareng atas biaya sendiri. Entah apa nama sekolahnya....Acang lupa ! Mas tahu? Ketika Mas bilang bahwa Mas pernah sekolah polisi di surabaya dulu, itu membuat ingatan Acang terhadap Kak Aceng semakin kuat. Hati ini semakin berdebar-debar. Jujur, rasanya ingin sekali Acang memeluk Mas.

Mas, Kak Aceng meninggal ketika Acang masih duduk di bangku kelas 6 SD, tahun 2001/2002. Sementara, Bapak meninggal ketika Acang duduk di kelas 5 SD. Pada saat Kak Aceng meninggal, isteri Kak Aceng sedang hamil 3 bulan. Iya, dia sedang mengandung anak Kak Aceng.

Mas, sekarang...anak Kak Aceng sudah kelas 5 SD. Seharusnya, dia sudah kelas 6 SD, hanya saja....dulu, ketika pertama masuk sekolah dia masih terlalu muda. Sehingga, selalu minta diantar oleh Ibu (Ibu Acang). Berhubung Ibu sering tidak bisa, karena harus bekerja, akhirnya dia berhenti. Nama anak Kak Aceng adalah Dani Anggara dengan kelahiran 03 Juli 2001. Jauh sebelum si Dani masuk SD, Ibu kandungnya Dani sudah menikah lagi. Mas, Dani terlahir dalam keadaan yatim, seperti Nabi kita tercinta Muhammad Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam.

Mas, Acang dulu manja sekali kepada Ayahnya si Dani . Sering sekali minta dibelikan mainan, minta dibuatkan mobil-mobilan, minta dibuatkan layang-layang, minta ditemani main kelereng, minta dibelikan sepatu baru, minta digendong, dan sebagainya. Kak Aceng adalah kakak yang sangat menyayangi adik-adiknya, Mas. Sama seperti Mas.

*****

Mas, seolah-olah Acang bertemu dengan Kak Aceng ketika Acang bertemu dengan Mas di RS Bina Sehat beberapa hari yang lalu. Dan itu berlanjut hingga sekarang. 

Ini Acang sekedar menduga. Mungkin sekarang yang ada dalam benak Mas adalah pertanyaan...kenapa bisa begitu? Kenapa ketika Acang melihat Mas, Acang teringat kepada Kak Aceng? Apa mungkin ada kemiripan antara Mas dengan Kak Aceng ?.... Begitu gak Mas? Heheheh Semoga dugaan Acang benar.

Iya Mas, ada kemiripan. Terutama postur tubuhnya, tingginya, dan hidungnya, serta perangainya yang penyayang. Acang melihat itu pada diri Mas ketika Mas mencium dan memeluk Ibu di saat Ibu sedang menagis, juga memeluk Bapak saat Bapak juga sedang menangis. Betapa Mas sangat mencintai Ibu dan Bapak serta Dik Tunjung. Iya Mas, Acang juga merasa amat sangat kehilangan Dik Tunjung. Semoa Allah SWT menerima semua amal baiknya, apalagi yang besar....sampai yang sekecil apapun itu kebaikkannya. Semoga diterima oleh NYA. Mengampuni semua dosa dan salahnya, dari yang terkecil sampai yang sebesar apapun itu kesalahannya. Semoga Allah menempatkan beliau di tempat terindah dengan segenap keridloan-NYA.

Mas, kita semua benar-benar merasa berduka atas kepergian beliau. Begitulah Tuhan, ketika Dia mengambil apa yang memang menjadi hak-NYA....itu merupakan ujian bagi kita. Begitu indah ujian Tuhan. Indah karena di setiap ujiannya itu selalu hadir keindahan secara bersamaan. Kita biasa menyebutnya dengan Hikmah. Keindahan yang Acang rasakan adalah, Acang jadi tahu di mana rumahnya Dik Tunjung sehingga Acang bisa mengunjungi keluarganya kapanpun Acang mau. Acang bisa akrab dengan Ibu, Bapak, dan Mas. Bertambah lagi saudara....  Acang senang melihat Mas karena mengingatkan Acang pada Kak Aceng. Terlebih lagi buat Ibu, Bapak, dan Mas.....pasti keindahan di balik duka ini....lebih indah lagi. Lagi, Tuhan menguatkan iman kita, menunjukkan Kemahakuasaan-NYA, lewat ujian-ujianNYA. Selalu ada suka di dalam duka.

Mas Erik

Sumber gambar : dari albumnya Mas Erik di Facebook


Rahmat Tunjung Permana

Sumber gambar : Dari albumnya almarhum di facebook


Categories:

0 comments:

Posting Komentar