Kamis, 21 November 2013

Kala kau hadir mengecup rasaku
Kubawa kau dalam larutnya malam,
Kulepas kau bersama lelapnya pejaman mata

Aku menang !

Selasa, 22 Oktober 2013

24

sumber gambar : http://cherryvios.blogspot.com/2010/02/angka-24.html

12 Oktober 2013 kemarin adalah tepat usiaku yang ke 24 tahun. Itu merupakan usia manusia dengan kategori dewasa, mandiri, bijak, dan bertanggung jawab, ganteng dan tampan. Hanya saja, semuanya itu sepertinya masih belum kumiliki. Itu semua masih belum ada di dalam diri ini. Mengenaskan !!! Lantas bagaimana jika angkanya dibalik menjadi 42, apa yang akan terjadi padaku dan hidupku? Apakah aku bisa mencicipi hidupku di angka 42 tersebut ? Indah rasanya memikirkan itu ! Karena, banyak sekali harapan yang belum terwujud dalam hidupku....

Rabu, 16 Oktober 2013


Berapa banyak orang yang mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke Anda di hari ulang tahun?



Dibanjiri ucapan Selamat Ulang Tahun, bagi kebanyakan orang (mungkin) adalah hal yang biasa. Bagi saya, itu akan menjadi hal yang sangat istimewa. Karena, dibanjiri ucapan “Selamat Ulang Tahun” jarang sekali terjadi pada saya. Tidak banyak orang yang mengucapkan itu ke Saya setiap kali Saya ulang tahun. Bahkan keluarga Saya sendiri, tidak ada satu pun dari mereka yang mengucapkan itu ke Saya, termasuk pada ulang tahun saya kemarin, 12 Oktober 2013.

Senin, 14 Oktober 2013

sumber gambar : Google

Alasan Ketika Masih Kecil

Saya sering bermain  “batu, kertas, gunting” ketika masih kecil bersama teman-teman. Biasanya saya melakukannya sepulang sekolah. Saya bermain “batu, kertas, gunting” biasanya pada permainan Petak Umpet untuk mencari yang kalah, siapa yang harus menacari.

Ketika tinggal dua orang, maka mereka berdua harus ber-“batu, kertas, gunting”. Batu disimbolkan dengan telapak tangan yang mengepal, gunting disimbolkan dengan membentuk jari seperti gunting (menekuk telunjuk, jari manis, dan jempol, sementara telunjuk dan jari tenagh dibiarkan berdiri), dan kertas disimbolkan dengan membuka telapak tangan dan kelima jari tidak ada yang ditekuk.


 Suatu hari terjadi pertengkaran di antara sepasang kekasih. Salah satu dari mereka ingin meminta maaf atas pertengkaran itu lewat sebuah surat. Berikut adalah surat yang awalnya akan dikirimkan olehnya ke pasangannya. Tapi itu tak terjadi karena semua sudah selesai.

Kini mereka lebih erat.



Ini adalah surat yang telah kukirim ke Mas Erik, beberapa hari setelah adik saya (di SWAPENKA) Rahmat Tunjung Permana meninggal. Mas Erik adalah kakak dari almarhum. Dari itu, saya pun menganggap dia (Mas Erik) seperti Kakak Kandung sendiri. Melihat Mas Erik, mengingatkanku pada Kakak KAndungku, Aceng Sumartin, yang telah meninggal ketika aku duduk di kelas 5 SD tahun 2001

Jumat, 11 Oktober 2013

sumber gambar : http://4.bp.blogspot.com

Sejarah Terbentuknya Tanggal Lahir Saya

Sebenarnya, baik saya, kakak-kakak saya, atau bahkan Ibu dan Bapak saya, tidak tahu tepatnya tanggal berapa saya dilahirkan. Orang jaman dulu (khususnya Ibu dan Bapak saya), tidak begitu perhatian terhadap tanggal lahir. Hanya orang-orang tertentu saja yang perhatian terhadap tanggal lahir, seperti pegawai kelurahan, para guru, dan para karyawan perusahaan. Sementara para petani, khususnya orangtua saya, tidak. Jika orangtua saya ditanya kapan tanggal lahir mereka, dari dulu sampai sekarang mereka selalu menjawab “tidak tahu. Kalaupun yang tertera pada KTP yang mereka miliki, itu merupakan hasil ''tembakan''. (Nembak; baca; menduga-duga, mengira-ira)



sumber gambar : http://catatankecilnovriana.files.wordpress.com

Pada suatu siang yang cerah Si Kancil sedang merumput sendirian di tepi sungai. Tanpa disadarinya, ada seekor induk Ayam Hutan yang muncul dari semak-semak sambil bernyayi. Dia tampak riang sekali.

“Naik..naik..ke puncak gunung..tinggi..tinggi sekali....” Sang induk Ayam Hutan menyanyi dengan merdunya sambil memutar-mutarkan badannya, menari-nari dan sambil memejamkan mata. “Kirii..kanan..kulihat saja..banyaaaak...”

“Brukkk !!!!” Tiba-tiba dia terjatuh. Dia menabrak badan si Kancil dari belakang. Begitu juga Si Kancil yang hampir saja jatuh ke sungai. Dia tidak mendengar suara induk  Ayam Hutan menyanyi  karena suara deburan air yang mengalir di sungai sangat deras.

Kamis, 10 Oktober 2013




2006.................


Sabtu, 05 Oktober 2013



Lebaran yang terjadi di rumah saya, [ lebaran pada Kamis, 08 Agustus 2013 ], sangat berbeda dengan lebaran-lebaran sebelumnya. Lebaran kala itu, saya kedatangan Kakak Saya yang dari Jember, Mas Zulfikar Rahmat. Lebaran kala itu kali pertamanya datang ke Bekasi, ke rumah saya.


Suasana masjid ketika sholat Idul Fitri.

Lebaran di kampung tercintaku, Kampung Sawah, Desa Cikarageman, Kecamatan Setu, Bekasi-Jawa Barat,  berlangsung tidak jauh berbeda dengan seperti di daerah Indonesia pada umumnya.  

Menjelang hari raya Idul Fitri, tepatnya selama bulan Ramadhan, Bibi selalu sibuk membuat kue lebaran. Sibuk melayani orang lain yang memesan aneka kue kepadanya. Termasuk Ibu saya sendiri selalu membeli kue lebaran ke Bibi. Ada kue Duit atau Picis, Tumpi, Akar Kelapa, Kerupuk Bawang, Keripik Pisang, Biji Ketapang, Rangginang, dan Ranggining. Di antara itu semua, Ranggining-lah yang paling banyak dipesan orang. Bibi biasa menjualnya Rp.500/satu buah ranggining mentah.

Bagaimana cara membuat ranggining ala bibi ??? Sesaat lagi Anda akan tahu caranya...



Rabu, 02 Oktober 2013


 
Sumber Gambar ; Google

Awalnya aku sangat menolak masuk ke sebuah institusi yang bernama "Pondok Pesantren".  Itu sangat bertolak belakang dengan keinginan, impian dan kebiasaanku ketika duduk di SMP. Kenyataannya, baik ayah maupun ibu benar-benar memarahiku dengan amat sangat, secara verbal maupun non-verbal, setelah pengumuman kelulusan SMP. Aku tidak diberi uang saku, tidak disapa selama berhari-hari. Aku kehilangan beberapa priviledge-ku.

"Pilihannya hanya ada dua, mondok atau tidak sekolah sama sekali !!!!" kata ayah sewaktu memarahiku.
"Ibu dan ayah sudah capek! Beribu-ribu kali bolak-balik ke sekolah hanya untuk mendengar laporan tentang kenakalanmu!" ucap Ibu.

Ketika aku suka akan suatu hal, aku cenderung dan memang lebih suka menceritakan ke orang lain hanya hal-hal baiknya saja ( dari apa yang aku sukai tersebut ). Sekalipun aku sadar bahwa apa yang aku suka tersebut memiliki kekurangan dan keburukan, tetapi kau cenderung tidak peduli akan kekurangan dan keburukannya. Semua terlihat dan terasa indah nan menawan. Karena, Tuhan telah mengajarkan bahwa tiada yang sempurna kecuali Dia sendiri Yang Maha Sempurna, Nabi Muhammad SAW, Islam, dan Al-Qur'an.

Rabu, 04 September 2013



Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba menulis cerpen faber castell Indonesia. Sama halnya dengan cerpen saya Akibat Overdosis Tugas.

Sayangnya, keduanya tidak memenangkan juara.... 




Jumat, 16 Agustus 2013

“ Sampean asli mana, Mas ? “. Hampir semua orang di Jember yang baru pertama kali bertemu saya bertanya demikian.

Jawaban saya : “Saya asli Bekasi, Mbak “, “Saya asli Bekasi, Mas”, “Saya dari Jawa Barat, Pak/Bu, dari Bekasi."

Lantas hampir mereka semua bilang begini : “Ooooh, pantesan....”

Saya : “ Pantesan kenapa Mbak/Mas/Bu/Pak ?”

Mereka : “Logat bicaranya beda....”

Saya sendiri benar-benar tidak meraskan adanya perbedaan logat bicara saya dengan mereka. Saya sering membatin, “Emang iya ya? Kok gue sedikit pun gak merasakan hal itu ya!? Dilihat dari mananya ya?! ”

Mereka bilang lagi ke saya : “Berarti deket Jakarta ya, Dik/Mas ?”
Saya : “Iya, Mbak/Mas/Bu/Pak...”

Mereka : “Enak ya deket kota ! Bisa ketemu artis-artis ibu kota setiap hari....”

Intinya, hampir dari mereka semua mengira bahwa saya tinggal di kota, deket dengan gedung-gedung penting dan tinggi, dekat dengan pusat hiburan, bisa ketemu artis-artis setiap saat, dll. Padahal, kenyataannya tidak. Saya pun selalu bilang begini setiap kali mereka bilang begitu, “ Gak, Mbak/Mas/Bu/Pak. Saya tinggal di desanya. Saya mah di kampung....”

Penampilan Rumah Saya

Dan, kali ini saya akan memperkenalkan diri lewat menggambarkan tempat tinggal saya (keadaan rumah).

Kenampakkan Rumah dari atas Pohon Rambutan

Kamis, 15 Agustus 2013

Saya mendapat SMS dari Ceu Mimin, isteri kakak saya. ( Ceu berasal dari Euceu : kata sapaan untuk kakak perempuan, berasal dari bahasa Sunda. Setara dengan Tétéh atau Mbak ).

“Cang, ayeuna ganti Ceu Endeung nu sokan kapalingan. Ker poe Senen ge duitna leungit sajuta di lamari.” ( Cang, sekarang gantian Ceu Endeung yang suka kepalingan uang. Pada hari Senin uangnya hilang satu juta di lemari ) Itu SMS dari Ceu Mimin, yang masuk ke HP saya pada 14 Agust 2013, 17:54:21. Jelas saya kaget mendengarnya sekaligus merasa sangat bersedih. (Ceu Endeung adalah kakak sepupu saya)
Leungit (Bahasa Sunda) = Hilang, Kaleungitan = Kehilangan

Selasa, 13 Agustus 2013



Sumber : Google.com

Suatu siang kakak saya SMS begini “Cang, sudah ditransfer 2rts... “

“Alhamdulillaah...” saya membatin. Hati saya mengucap syukur teramat dalam. Jelas saya senang sekali. Karena sudah tidak punya uang sama sekali. Segera saya mengetik key-pad Hp hendak membalas SMS dari Sang Kakak.

“Alhamdulillaah..Terima kasih banyak, Kak…”

Sayangnya, SMS saya itu gagal terkirim walaupun sudah saya coba kirim ulang sampai tiga kali. Saya lupa kalau  pulsa saya sudah habis sejak kemarin. Andai saja saat itu sedang tidak kuliah, pasti saya langsung lari ke ATM.




Lebih dari tiga tahun saya tinggal di perantauan, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Saya kuliah di Universitas Jember Jurusan sastra Inggris angkatan 2010. Sekarang memasuki semester tujuh. 

***** 

Awalnya, saya merasa sangat khawatir untuk merantau ke Jember. Alasannya sangat banyak. Saya tidak tega meniggalkan ibu saya sendirian di rumah. Saya tidak punya biaya banyak untuk hidup merantau. Saya tidak tahu harus kerja apa di sana untuk membiayai hidup dan kuliah. Saya tidak punya saudara satupun di Jember, teman atau kenalan apalagi. Benar-benar tidak punya ! Jember adalah kawasan yang sangat jauh dari tempat tiggal saya dan belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Saya tidak tahu sama sekali Jember seperti apa. Saya bingung akan tinggal di mana. Saya takut gak makan. Saya takut dijahili dan dijahati orang. Saya takut gak betah tinggal di Jember. Saya takut dan khawatir.

Kamis, 01 Agustus 2013



Ponorogo,

Kakiku belum pernah menyentuh tanahmu

Sedikitpun.Walau tuk sejenak

Rabu, 31 Juli 2013

Apa yang ada dalam benak Anda ketika mendengar kata “Perempuan Perkasa”?
Siapakah perempuan perkasa menurut Anda ?
Seperti apakah perempuan perkasa itu menurut Anda ?

Bagi saya, ketika mendengar kata “Perempuan Perkasa”, saya langsung teringat kepada sebuah puisi dan penjual jamu. Ya, puisi yang terdiri tiga bait berjudul “Perempuan – Perempuan Perkasa” karya Hartoyo Andangjaya. Kenapa ? Begini ceritanya. Pertama kali saya membaca puisi itu adalah di buku pelajaran Bahasa Indonesia ketika saya duduk di kelas V SD. Nah, di sebelah puisi itu ada gambar seorang ibu yang sedang menggendong jamu. Waktu itu, perempuan perkasa menurut saya adalah perempuan pekerja keras seperti penjual jamu.

Ketika kau duduk,
Aku datang menghampirimu
Maka, kau
Berdirilah...
Mari kita bertatapan
Perlahan
Letakkan kedua lenganmu di dadaku
Biar kupeluk pinggangmu

Sabtu, 27 Juli 2013

Setiap kali saya mendengar kata "belajar", yang ada dalam pikiran saya adalah belajar pelajaran sekolah. "Belajar" dilakukan di rumah sepulang sekolah. Dulu, biasanya saya belajar malam hari sepulang dari mengaji. Sebelum belajar dimulai, saya selalu menyiapkan buku pelajaran untuk esok hari di sekolah. Saya periksa buku satu-satu sebelum dimasukkan ke dalam tas, khawatir ada PR yang belum dikerjakan. Jika ada PR, langsung saya kerjakan dan jika tidak maka saya belajar.


          Dia adalah orang yang selalu bercermin. Ke mana pun ia pergi, ia tak pernah lupa untuk membawa cermin. Dalam satu hari, ia bisa bercermin sampai lebih dari sepuluh kali. Ia ingin selalu tampil rapi dan sedap dipandang mata. Ia tidak ingin melihat noda setitik pun menempel di badannya yang dapat merusak penampilannya. Ia tidak ingin posisi rambutnya berubah sedikit pun karena terpaan angin. Maka dari itu, untuk menjaganya ia tak henti-hentinya bercermin.
Hingga detik ini, aku masih selalu berharap untuk diberi dan dikasih.Hhasrat dan keinginan untuk diberi ini benar-benar jauh lebih besar dari pada hasrat dan keinginan untuk memberi. Apalagi hasrat dan keinginan untuk berusaha sendiri, rasanya kecil sekali.
Di saat uangku habis, seperti tak ada jalan lain, yang aku lakukan pasti dan selalu hanya meminjam. Jika tidak begitu, bilang ke teman-teman lewat SMS “Aku gak punya uang…”. Dari situ aku berharap mendapat balasan “ Kamu sudah makan ? “ atau “Ayo makan bareng aku, mumpung aku lagi punya..” atau juga “Apa kamu mau minjem ?” atau “Oh, santai Chang, gpp….ini, aku lagi ada rejeki. Nanti aku anterin ya uangnya. (Picik sekali aku ini ! )
BETAPA KERDILNYA AKU !!!!!
DI MANA HARGA DIRIKU ????

Senin, 20 Mei 2013


Beberapa waktu lalu saya curhat kepada seorang teman dekat. Mengapa ya, saya itu selalu bingung melihat orang yang menilai saya, seperti saya ini sedang mengikuti sebuah kontes. Waktu kemudian menjadi pendek, orang komentar lagi. Waktu pakai poni lempar alias polem, jeritannya lebih keras lagi.

Aku

Waktu mulut dan tulisan saya setajam silet dan banyak yang berdarah-darah karenanya, orang mengumpat, mencerca, dan mengutukinya. Yang membela hanya mereka yang sejujurnya berkeinginan mencerca orang yang sama saya cerca, tetapi buang body karena mungkin takut menyuarakan pendapat mereka.
Dan dukungan mereka itu, saya anggap sebagai sebuah bentuk terima kasihkarena saya sudah menjadi corong suara hati mereka. Dan waktu saya mulai menyadari perbuatan tidak baik itu dan berusaha sedemikian rupa untuk menguranginya, ada suara bernyanyi bak paduan suara. Keras dan bergempita. “Samuel sekarang, dah gak ada taringnya.”

Ketika kehidupan saya kacau balau, ketika saya memiliki hubungan asmara mereka mengatakan, “Orang tak punya moral, pantaslah dapat gagal ginjal. Syukurin.” Dan setelah peristiwa gagal ginjal itu, saat saya berjanji dengan Tuhan bahwa saya mau berusaha keras untuk hidup di jalan-Nya, paduan suara itu berkumandang lagi. “Bilangin tuh. Kalau udah maksiat, maksiat aja, enggak usah sok alim.”

Dan pada saat saya berada pada periode kealiman itu, saya membentuk sebuah persekutuan do’a yang super kecil dengan jumlah anggota yang tak lebih dari lima jari, dan sampai hari ini bisa bertahan selama lebih dari tujuh tahun, suara nyaring masih ada yang mendendangkannya. “Kalau udah bertobat enggak usah mendadak jadi kayak orang suci.”

Sampai di suatu siang yang mendung itu, saya bertanya kepada teman saya itu. “Sebetulnya kita itu hidup buat nyenengin diri sendiri apa orang lain, ya? Mengapa orang lain merasa repot sekali kalau saya melakukan hal yang berbeda dengan mereka? Apa salahnya kalau ada orang jahat bisa menjadi lebih baik? Mengapa kalau saya jahat mereka mengumpat, waktu saya baik umpatannya masih ada saja?

Teman saya tampak tidak tertarik dengan diskusi yang menurut dia cukup berat. Apalagi udara lagi adem dan nyaman untuk tidur, atau paling tidak, suasana seperti ini bukan untuk didedikasikan untuk untuk sebuah pertanyaan yang membutuhkan diskusi  panjang dan lebar, yang bisa jadi berakhir dengan otot dan syaraf yang tegang. Ia hanya berujar, “Yaaah...elo kan juga enggak ada bedanya ama mereka. Elo juga bawel kalau lihat ada orang yang beda ama elo?”

Kamu

Setelah pertemuan di hari mendung itu, saya kembali teringat dengan cerita di atas, gara-gara seorang bertanya, “Elo tau gak sih, tujuan elo itu diciptakan di dunia?” Waktu pertanyaan itu masuk ke gendang telinga dan dikirim ke otak secara tiba-tiba, saya gelagapan. Bingung untuk menjawabnya. Tepatnya tidak tahu jawabannya. Saya hanya berpikir dari sejak dahulu bahwa sebagi manusia, saya tak punya tujuan selain dengan apa yang di sebut dengan cita-cita.

Saya belajar dengan tujuan untuk memenuhi keingina orangtua supaya bisa pandai dan mendapat ijazah, padahal sejak saya berusia tujuh tahun saya sudah protes kepada ibu mengapa saya harus sekolah, padaha sekarang ada yang namanya home schooling. Saya membuat pekerjaan rumah buat dosen saya karena beliau sudah menginstrusikan untuk melakukan itu. Daripada saya dihukum, ya saya mengerjakan pekerjaan rumah yang tak saya sukai itu. Apa boleh buat.

Saya membayar tagihan kartu kredit, pajak, dan lain-lainnya karena memang harus demikian adanya. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Jadi, selama ini saya berbuat sesuatu untuk orang lain. Karena ketika saya bercita-cita tidak mau masuk jurusan IPA, ayah saya berteriak dengan alasan yang masuk akal untuk masuk IPA. Padahal, saya tersiksa sekali meski akhirnya  bisa lulus. Kadang saya saja masih suka bingung kok saya ini bisa lulus SMA. Buat saya itu sebuah keajaiban dunia.

Saya malah berpikir, kalau pertanyaan itu sebaiknya diajukan untuk Sang Pencipta. Kan seperti perancang apa pun dan di mana pun, mereka selalu memiliki alasan atas apa yang mereka ciptakan. Bukan ciptaannya yang ditanyai tujuan mengapa mereka dibuat, bukan?

Maka, kalau saya bingung ada orang yang selalu menilai saya, mungkin sekarang saya baru tahu tujuan saya diciptakan itu adalah untuk dinilai bak dalam kontes. Dan kalau itu membuat kepuasan batin mereka atau membahagiakan mereka karena ada yang bisa dipakai sebagai materi obrolan sore hari sambil menyeruput teh hangat, ya........ mau apalagi.

Di suatu sore, saya dan dua teman sedang mengobrol soal segala macam, sampai pada protes saya di atas. Seorang teman yang sudah berusia setengah abad lebih tujuh tahun mengatakan begini, “Sudah enggak usah dipikirin. Manusia itu ya.....seperti itu. Sekarang ini yang utama adalah menyenangkan orang lain. Merka, dan bukan kamu, kamu dan kamu.”
Ini adalah cerpen saya yang telah saya ikutkan pada lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Faber Castell Indonesia. Hanya saja, saya tidak meraih juara apa-apa. Tidak apa-apa. Yang menjadi juri program ini adalah Raditya Dika, beberapa dari Forum Lingkar Pena (FLP ), dan dari pihak Faber Castell itu sendiri.





Teman saya, seorang ibu dengan satu anak, belum lama ini berhasil mendaki puncak Gunung Kinabalu. Jika Anda melihat sosoknya saja, rasa-rasanya saya bisa tahu Anda akan menghakiminya sebagai perempuanlembek yang akan roboh segera jikaditiup angin.

Nah, itulah saya. Mungkin sama seperti Anda suka tertipi dengan apa yang dilihat mata. Dan jeleknya saya menghakimi melalui yang saya lihat dengan mata yang acap kali sudah  terbukti banyak kelirunya, tetapi tetap saja dilakukan. Jika kata orang jangan melakukan kesalahan yang sama, itu tampaknya tidak berlaku untuk saya.

“Yeaayy right”

Sejak masa SMP dahulu, ayah saya menggembleng anak-anaknya melakukan aktivitas mendaki gunung. Jadi, dengan badan kurus dan nyaris tak berdaya ini, saya sudah mendaki beberapa gunung di Bali termasuk Gunung Agung yang tertinggi. Katanya untuk melatih mental dan penguasaan diri. Menurut Ayah, mental anak-anaknya kayak tempe. Jadi, harus digembleng. Saya tak pernah bertanya apakah ayah saya pernah mendaki, yang jelas anaknya yang harus melakukan itu.

Ya begitulah orang tua. Jika yang tak bisa mereka lakukan dan cita-citakan tak kesampaian, anaknya menjadi sasaran empuk. Dan jika anaknya protes, suara macam begini yang didengar. “Supaya kamu bisa kuat. Percaya sama nasihat orang tua. Orang tua itu selalu membuat hal-hal baik buat anaknya.” Kalau sudah begitu, hati saya bersuara, “Yeayy right.” Kemudian dilanjutkan dengan suara begini, “Baik di elo kan belum tentu baik di gue.” Namun, apa daya anak hanya bisa berpasrah dan bersuara tanpa suara di dalam hati  bukan ?

Maka ketika melihat teman perempuan mendaki, saya malah salut kepada teman saya itu. Sebab, sebagai orang tua dengan satu anak, dia tak menyuruh anaknya mendaki, tetapi dirinya sendiri sebagai perempuan dan ibu. Saya tak tahu apakah karena statusnya sebagai orangtua tunggal (single parent) sehingga ia melakukan ini untuk melatih diri, mental, dan penguasaan diri yang bisa jadi berguna dalam kehidupan sehari-hari, yang ancamannya sebagai single parent juga tak kalah banyak seperti rintangan saat mendaki gunung.
Melihat teman saya itu, saya kemudian belajar. Jika menjadi orang tua, harus berani melatih diri. Tidak hanya mendaki, tetapi juga terbuka pada keadaan yang tidak statis di sekitar hidupnya.  Saya jadi teringat kepada seorang teman yang bekerja sebagai training manager di sebuah toko swalayan. Ia  mengatakan, “Sebelumnya saya jadi pramuniaga, Mas. Dari bawah banget.

Sarang baru

Saya membalas pesannya dengan mengatakan memang seharusnya demikian. Jika tak merasakan situasi di lapangan, bagaimana bisa melatih anak buah kelak. Maka, sama seperti teman perempuan saya, sebelum ia berteriak dan menjerit atau dengan suara halus menasihati anaknya, ia sendiri juga harus mengalami apa yang akan disampaikan kepada anaknya. Supaya apa yang disampaikan tidak akan terlalu tinggi atau terlalu rendah untuk dijadikan standar kekuatan mental anaknya. Sebab, ia sendiri tahu bagaimanakeadaan sesungguhnya di lapangan. Di lapangan yang bernama kaki gunung, yang dilihat dari jauh begitu indah, tetapi ketika didekati alangkah besar rintangnannya.

Maka, seperti pemikiran saya di atas, keindahan itu seperti menghakimi seseorang secara kasat mata saja. Saya tak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. Keindahan itu mengandung perjuangan yang kadang mematahkan asa. Standar yang diterapkan untuk anak bukan karena orangtua melihat standar orang lain, bukan mendengar dan mengikuti eksekusi nasihat sesama orangtua, melainkan berdasrkan pengalamannya sendiri kemudian memasang strategi untuk diterapkan kepada buah hatinya. Karena acap kali saya mendengar buah hati protes tak setuju kemudian lari keluar  untuk mencari persetujuan di tempat alin.
Maka, kalau saya ingat kembali bagaimana orangtua saya mendidik, selalu saja membangkitkan rasa amarah. Bukan karena saya mau berlaku tidak hormat, sebaliknya saya sangat menghormati. Akan tetapi, di kepala orangtua acap kali kalau anak tak mau mengikuti berakhir dengan orang tua naik pitam atau menghakimi saya sebagai anak kurang ajar.

Nah, saya sebagai anak hanya bisa berpikir kalau kata kurang ajar itu sepantasnya dicetuskan bukan karena anak tidak mengikuti nasihat orangtua, melainkan karena anak tidak dihormati sebagi individu. Saya memang anak, tetapi saya juga seorang individu. Seorang individu berhak mengungkapkan pemikirannya bahkan sebuah pemikiran yang di mata orangtua adalah pemikiran yang sok tahu, yang jauh dari jam terbang yang tinggi.

Buat saya, cinta yang sering digemborkan orangtua seyogianya tidak menimbulkan kepahitan bagi yang dicintai hingga yang dicintai terbang ke luar sarangnya dan bertengger di sarang orang lain.

Tulisan ini karya Samuel Mulia yang dimuat di koran KOMPAS, Minggu, 3 Maret 2013 di kolom Parodi halaman 27. Saya tulis ulang persis dengan teks aslinya. Alasannya adalah karena tulisan ini bagus dan penuh pembelajaran

Minggu, 19 Mei 2013




Sejujurnya, aku mulai suka memakai baju batik adalah sejak aku pindah ke bangku kuliah tiga tahun lalu. Tepatnya tahun 2010. Sebelumnya, memakai batik adalah satu pekerjaan yang sangat enggan aku lakukan. Pada masa OSPEK dulu, setiap mahasiswa baru diwajibkan memakai baju batik pada hari yang telah ditentukan oleh panitia. Faktanya,  memasuki masa aktif perkuliahan, setiap harinya banyak mahasiswa yang  memakai baju batik. Itu artinya memakai batik tidak terikat hari. Mahasiswa boleh memakai batik kapanpun mereka mau. Selain mahasiswa, para dosen dan karyawan kampus juga setiap harinya selalu banyak yang memakai baju batik.


Sabtu, 18 Mei 2013




" Ayo, Noul nang kantin !....jare ate ngopi....????" ajak Ms Bengek ke Mas Noul.
"Iyo, sek.....le..." jawab Mas Noul dari dalam sekret.
"Nyusul yo Noul !!!...." Mas Jukok agak memaksa.
"Iyo...iyo...." jawab Mas Noul.

Sebenrrnya saya agak lupa tentang peristiwa ini, awalnya gimana, dan kapan terjadinya. Lupa-lupa ingat ! Yang saya inget, yang pasti, waktu itu lagi rame di sekret. Lagi banyak orang !!! Saya sendiri juga ikut gabung dalam kerumunan orang2 di sekret walaupun sambil ngetik tugas. Mereka membicarakan beraneka topik. Rame dah pokoknya ! Saya aja cekakakan mendengar obrolan mereka....samapi-sampai, saya mengetik apa yang mereka omongkan....

Sebut saja namanya Pramu. Dia lelaki yang masih duduk di bangku SMP.

“Jeplak !!!!” 

Dia dipukul oleh ibunya dari belakang, menggunakan sebatang kayu pipih, tepat mengenai pahanya. Pramu langsung lari kocar-kacir, tidak berani menatap wajah ibunya sama sekali. Ibunya mengejar-ngejar dia sambil mengacung-acungkan kayu itu. 

“Ayo, waktunya sholat !!!!!! Dari tadi disuruh sholat…..gak sholat-sholat !!!!! Main terus !!!!!  Ayo, berhenti mainnya !!!! Ayo cepet masuk !!!!” Ibunya benar-benar marah. Pasalnya, ibunya sudah menyuruhnya berkali-kali, tapi Pramu tidak mengubrisnya. Dia tetep asyik bermain sepak bola di jalan di depan rumah bersama teman-temannya.

Senin, 01 April 2013



Ketika aku sedang menulis cerita ini, aku baru saja sampai di kamarnya Mas Dwi. Aku baru pulang dari menonton pertunjukkan wayang kulit di kampus. Ketika tulisan ini selesai kuketik, aku masih belum tahu dalam rangka apa Fakultas Sastra mengadakan acara itu. 

Sebelum aku menonton wayang, aku facebook-an di gazebo belakang bersama saudaraku Si Monyong ( Nurhadi ). Iya, itu panggilan akrab di antara kami ( dia juga memanggil aku “Monyong” ). Padahal bibirku gak monyong, yang ada juga bibirnya dia yang monyong ( Maaf ya Nyong aku telah membongkar rahasiamu ! he he he). Entah bagaimana ceritanya, aku tidak inget betul, kata sapaan itu telah menjadi trade-mark bagi kami. 

Aku begitu asyik fb-an.Sampai-sampai acara wayang itu sudah dimulai, baik aku maupun Si Monyong masih tetep melototin fb masing-masing. Aku melihat banyak status teman-teman berbunyi senada, membicarakan “malam minggu”. Ada yang malming sendirian, ada yang mau ngapeli pacarnya tapi dia mau menghadiri acara lain terlebih dahulu, ada yang nungguin pacarnya tapi gak datang-datang, ada yang sedang menghadiri acara hiburan bersama pacarnya, dll. Kalo aku tuliskan, kurang lebih sperti ini bunyi status beberapa teman-teman itu. 

“ Malming cendirian...”

 “ Huft, kok dia gk dteng2 ya.....???”

 “Sebelum malmingan, w k acara ntu dulu ah...” 

 “Wuihhh...hiburannya seru bgt...bersama-Nama Pacarnya” 

Aku menulis status di fb tiga kali (kalo tidak salah). Setelah puas fb-an, karena bingung mau up date status apalagi, ditambah baterai laptopnya yang sudah lemah, barulah aku pergi menononton wayang kulit yang digelar di halaman depan Fakultas Sastra. 

Semua orang yang menonton pertunjukkan wayang kulit itu mendapatkan konsumsi, satu kotak kue dan segelas aqua. Alhamdulillah, lumayan mengenyangkan. Di sana juga disediakan kopi dan teh. Aku pilih kopi. Sudah lama aku tidak minum kopi. Sejujurnya aku bukan pengopi, apalgi perokok. Yah, kangen aja pengen nyobain kopi lagi. Tidak lama kemudian, datang para panitia seksi konsumsi dalam acara tersebut keluar membawa nampan di kedua belah tangan mereka. Kemudian, meletakkan nampan-nampan itu di depan para penonton. Isi nampan itu aneka macam makanan rebus. Ada kacang tanah rebus, kentang, jagung, singkong, dan talas rebus. Awalnya, aku mengambil beberapa butir kacang tanah rebus dan sepotong jagung rebus. Kurang lebih 5 cm panjangnya jagung itu. 

Aku tidak kepikiran apapun ketika aku mengunyah makanan itu. Aku hanya mendengarkan dan berusaha memahami apa yang dikatakan oleh dalang seraya mataku menyaksikan wayang-wayang yang dimainkan olehnya. Aku tidak mengerti bahasa jawa halus sama sekali. Aku hanya mengerti bahasa jawa kasar, itu pun tidak 100% mengerti. Setelah makanan itu selesai kukunyah, kuambil lagi sepotong talas rebus. Pada saat tanganku mengupas kulitnya, tiba-tiba pikiran terbang jauh ke masa lalu. Dadaku berdebar sedikit lebih hebat. Tanganku agak gemetaran.

 Dulu, Bapakku punya kebun yang sangat luas yang jaraknya jauh dari rumah. Di sana ada kurang lebih 8 pohon rambutan yang besar-besar, pohon kecapi, melinjo, cabai, terong, pare, serai, lengkuas, jahe, tomat, kunyit, singkong, dan talas. Keberadaan kebun itu berikut isinya sangat membantu kehidupan kami. Jika musim rambutan tiba, bapak dan kakak-kakakku sibuk memetiknya, sementara ibu dan kakak perempuanku menunggu dibawah pohon rambutan bertugas mengikatnya. (mengikat rambutan tentunya, bukan mengikat bapak atau kakak laki-lakiku). Khusus aku bertugas megumpulkan rambutan yang telah dipetik serta menghitung jumlah ikatan buah rambutan itu. Baik bapak juga kakak, masing-masing mereka membawa korang dan gantar masing-masing. Korang adalah keranjang dari karung, sedangkan gantar ( galah dalam bahasa Indonesia) untuk memetik buah rambutan yang jauh dari jangkauan. Setelah korang itu penuh, akan diturunkan pelan-pelan. Sistemnya seperti kita menimba air. Setelah korang itu menyentuh tanah, kuambil korang itu, lantas kukeluarkan rambutan-rambutan itu di hadapan ibu dan kakak untuk diikat dan dijual ke tengkulak merupakan tujuan akhirnya. 

Jam 4 sore kami pulang ke rumah. Tidak cukup satu hari untuk memanen buah rambutan itu, bisa mencapai satu bulan. Kenapa ? Karena, buah itu tidak sekaligus matang secara bersamaan. Sebelum pulang ke rumah, bapak menggali talas. Sambil memasak, ibu merebus talasnya. Ba’da maghrib, selalu ada tetangga yang main ke rumah. Mereka ngobrol bersama bapak juga ibu. Nah, talas rebus itulah yang menemani mereka ngobrol, dibarengi kopi hitam dan radio (kadang-kadang). 

Waktu itu aku masih menyusu ke ibu. Aku belum sekolah. Kadang-kadang, kalo yang main ke rumah itu banyak, dan gak ada makanan di rumah, maka malam-malam itulah bapak dan teman-temannya pergi ke kebun untuk menggali talas. Kadang aku ikut, tapi lebih sering menyusu di ibu. Sering kali aku marah gara-gara ibu harus merebus talas malam-malam. Itu menggangguku yang sedang asyik menyusu. Tidak jarang aku menangis, hingga akhirnya bapaklah yang harus merbusnya sendiri. Membersihkan akarnya, mencucinya, menyalakan api di tungku (dulu belum jaman kompor gas, kompor minyak aja jarang). Kalo tidak bapak, kadang kakak perempuanku, kalo dia belum tidur. Tapi, setelah talas itu matang, aku pasti ikut memakannya. 



Biasanya, malam minggulah talas rebus itu lebih sering ada. Kalau tidak talas,pasti singkong rebus. Karena, malam minggu itu ada siaran langsung wayang golek di radio. Waktu itu, TV masih jarang sekali, bisan dihitung pake jari. Radio juga termasuk barang langka. Juga malam sabtu, ada acara dongeng di radio. Ya, dongeng. Kalo sekarang, mungkin semacam sinetron. Talas rebus, juga sering menemani bapak dan ibu ketika memanen padi. Dimasaknya pun lebih istimewa. Kalau bisanya dikukus dengan kulitnya, tapi kalau untuk teman memanen padi, kulitnya dikupas, talasnya dipotong-potong dengan ukuran yang lebih kecil, ditaburi parutan kelapa dan garam secukupnya. Kami menyebutnya talas urap. 

Beda lagi kalau di pagi hari. Pagi-pagi sekali bapak sudah pergi ke kebun. Apa lagi kalau bukan untuk menggali talas. Sementara ibu memasak air sambil merendam cucian dan menyapu halaman. Tidak lama kemudian, aku akan mencium aroma talas goreng disaat mataku masih tertutup dan tubuhku terbaring di kasur yang berkelambu. Aku langsung bangun, jalan ke dapur, makan talas goreng. 
“Hemhh, kebiasaan nih...bangun tidur langsung makan. Belum cuci muka, belum sikat gigi. Bapak juga belum makan. Selalu kamu yang duluan..” kata ibu sambil memasukkan talas ke wajan di sesi kedua. Sesi pertama sudah matang.

 “Pak, kupasin dong ?” pintaku ke bapak sambil memberinya talas rebus. “Kenapa sih Pak, gak nyoba nanem jagung aja ? Talas-singkong..talas-singkong....gak bosen apa ?”

 “Acang, jagung itu gak cocok ditanam di kebun kita. Lagian, talas itu labih awet. ” kata ayah sambil mengusap kepalaku. 

Pada saat aku mengupas talas di acara pertujukkan wayang tadi, aku inget Bapakku. Hampir saja aku menitikka air mata. Aku kangen Bapak yang telah pergi ke pangkuan-NYA di saat aku masih duduk di kelas 5 SD. Semoga Allah menempatkan Bapak di tempat yang luhur dengan segenap keridloan-NYA. NB : ternyata..wayang kulit itu dalam rangka ULANG TAHUNNYA SALAH SEORANG DOSEN JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS JEMBER.